Imam Malik bin Anas: Kehidupan, Warisan Intelektual, dan Pengaruhnya dalam Sejarah Islam

Hadi Wiryawan

Nama lengkap beliau adalah Abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amir bin Umar bin al-Harith bin Ghaylan bin Hasyd bin Umar bin al-Harith al-Asbahi al-Himyari. Beliau lahir di Madinah tahun 93H/712 M bertepatan dengan tahun meninggalnya sahabat nabi yang terkemuka yakni, Anas bin Malik.

Ayah Imam Malik yakni Anas bin Malik adalah seorang perawi hadis dari kalangan Tabi’in, meskipun nama ayahnya sama dengan sahabat nabi yakni Anas bin Malik, akan tetapi sejatinya mereka berdua adalah dua orang yang berbeda. Karena ayah Imam Malik adalah seorang perawi hadis dari kalangan tabi’in, sedangkan Anas bin Malik adalah perawi hadis sekaligus sahabat nabi.

Imam Malik berasal dari keturunan bangsa Arab dari desa Dzu Ashbah yang merupakan sebuah desa yang terletak di pinggiran kota Himyar atau dalam sebutan lain Humair (daerah Yaman).

Imam Malik tumbuh dalam keluarga yang penuh dedikasi terhadap ilmu agama, dengan nenek moyang yang aktif dalam meriwayatkan hadis. Meskipun banyak kesempatan untuk merantau dan menuntut ilmu di tempat-tempat lain, Imam Malik tetap teguh berada di Madinah. Kota suci ini tidak hanya menjadi tempat kelahirannya tetapi juga menjadi sumber utama ilmu bagi beliau. Di sini, beliau belajar dari para ulama yang berkunjung untuk haji dan ziarah ke makam Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Di dalam kitab Tahdzibul Asma’ wa al-Lughat disebutkan bahwa Imam Malik memiliki 900 guru, termasuk 300 dari kalangan Tabi’in dan 600 dari generasi setelahnya. Di antara mereka, Ibnu Hurmuz, Ibnu Syihab al-Zuhri, Nafi’ Maula ibn Umar, Ja’far al-Shadiq, dan Rabi’ah ibn Abdurrahman adalah tokoh-tokoh besar yang membentuk intelektualitasnya.

Sejak usia muda, Imam Malik sudah aktif mengajar hadis dan fikih di Masjid Nabawi dengan gaya ceramah yang memukau. Orang-orang dari penjuru dunia Islam datang ke Madinah untuk belajar dan meminta fatwa kepadanya, sehingga Imam Malik dikenal sebagai ulama besar dalam hadis dan fiqih, yang dijuluki sebagai Imam Darul Hijrah.

Baca Juga: Imam Ibnu Majah: Profil Sang Ulama Hadis Terkemuka dalam Sejarah Islam

Ketika memasuki babak mengajar, Imam Malik selalu membawa Kitab al-Muwatta’ yang terkenal, mengajar murid-muridnya sambil menjelaskan hadis-hadis mulia. Kitab ini tidak hanya berisi hadis-hadis Rasulullah, tetapi juga pemahaman para sahabat dan Tabi’in tentang ajaran-ajaran Nabi.

Imam Malik tidak hanya piawai dalam mempelajari dan mengajarkan ilmu, tetapi juga berani dalam menghadapi otoritas sang pemimpin. Pernah suatu ketika Khalifah Harun al-Rasyid mengirim utusan untuk mengundangnya ke istananya, Imam Malik dengan tegas menyatakan bahwa ilmu harus didatangi, bukan didatangkan. Khalifah yang terkesan dengan keberanian dan integritasnya, akhirnya mengunjungi Madinah dan menghadiri pengajian Imam Malik dengan penuh penghormatan.

Kisah hidup Imam Malik mengajarkan kita bahwa kehormatan sejati berasal dari pengabdian kepada ilmu dan integritas pribadi, bukan sekadar jabatan atau kedudukan. Dalam perjalanannya, Imam Malik juga memiliki sejumlah murid terkemuka seperti Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i (pendiri mazhab Syafi’i), Muhammad ibn Hasan al-Syaibani, Ibn al-Mubarak, dan lain-lain, yang meneruskan warisan ilmunya dengan cemerlang.

Persaksian Ulama Terhadap Imam Malik

Imam Malik, seorang ulama besar dari Hijaz, dikenang atas kebijaksanaan dan ketelitian dalam ilmu agama. Imam Malik sendiri menyatakan bahwa dia tidak akan memberikan fatwa sebelum tujuh puluh orang bersaksi atas keahliannya dalam suatu masalah.

Sufyan bin ‘Uyainah menggambarkan Malik sebagai hujjah (otoritas) pada masanya, sementara Muhammad bin Idris asy-Syafi’i menyatakan bahwa Malik adalah guru dan sumber ilmu baginya. Asy-Syafi’i bahkan menyatakan bahwa tidak ada kitab ilmu yang lebih benar setelah Al-Qur’an selain kitab Imam Malik. Abdurrahman bin Mahdi menegaskan bahwa dalam hal kebenaran hadits, Malik adalah prioritasnya. Al-Auza’i menyebut Malik sebagai “Alimul ‘Ulama” dan “mufti haramain”. Yahya bin Sa’id al-Qaththan menyebut Malik sebagai imam yang patut diteladani, sementara Yahya bin Ma’in menyebut Malik sebagai hujjatullah terhadap makhluk-Nya. Dengan ketekunan dan dedikasinya dalam mengejar serta menerapkan ilmu, Imam Malik menjadi guru bagi ulama-ulama dan khalifah-khalifah di zamannya.

Warisan Intelektual Imam Malik

Warisan intelektual Imam Malik tidak hanya menjadi tonggak penting dalam pemikiran keagamaan umat Islam, tetapi juga menyebar luas di seluruh dunia Islam sampai hari ini. Dua sumbangsih utamanya, kitab al-Muwattha’ dan Mazhab Maliki, tetap dihargai sebagai panduan berharga.

Kitab al-Muwattha’ yang ditulis oleh Imam Malik telah menjadi salah satu referensi utama, terutama di kalangan pesantren dan ulama kontemporer. Karya ini dikenal karena klasifikasi fiqihnya yang cermat, yang merangkum prinsip-prinsip fiqih dari hadis Rasulullah beserta fatwa para sahabat.

Imam Malik menghembuskan napas terakhir pada usia 92 tahun pada tahun 179 H/795 M, adalah sosok yang panjang umurnya dan diberkati untuk berbakti pada ilmu dan agama. Sepanjang hidupnya, beliau menyaksikan peralihan kekuasaan dari dinasti Umayyah ke Abbasiyah, meneguhkan posisinya sebagai otoritas keagamaan yang dihormati.

Ketika wafatnya, salah seorang gubernur Madinah dari dinasti Abbasiyah, Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim, menjadi salah satu yang mengantar jenazahnya ke pemakaman terakhir di Baqi’. Mazhab Maliki yang dia wariskan masih hidup dan menjadi mazhab resmi di berbagai negara, menunjukkan keabadian warisan intelektualnya.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima segala upaya dan dedikasi Imam Malik dalam menyebarkan ilmu dan menegakkan agama-Nya. Semoga warisan intelektual beliau, terutama melalui Al-Muwatta’ dan Mazhab Maliki, terus memberikan cahaya dan petunjuk bagi umat Islam di seluruh dunia. Aamiinn Allahumma Aamiinnn..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *