ulumulhadis.id – Ulama ahlussunnah pada umumnya sepakat terkait makna al-Qur’an yang merupakan kalamullah azali yang qadim, sifatnya melekat pada Dzat Allah SWT yang ditransmisikan kepada manusia melalui serangkaian peristiwa yang bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya, mutawatir, petunjuk kehidupan di dunia, mukjizat yang abadi dan wahyu yang agung. Namun para ulama klasik berbeda pendapat tentang makna al-inzal, proses detail transmisi kalamullah.
Pertama, berdasarkan H.R. An-Nasa’i dari Sa’id ibnu Jubair dalam tafsirnya mengatakan makna dari Allah yang disampaikan Jibril melalui ajaran cara diktenya, menampakkan bacaan (idzhar al-qira’ah), lalu menyampaikannya kepada Rasulullah. Kedua, seolah-olah wahyu diproyeksikan atau dimanifestasikan (اِظْهَارُ الْقُرْآنِ) dalam realitas kejadian secara fisik dan maknawi, berdasarkan Q.S as-Syu’ara: 193-194 ‘Nazala bihii ar-ruuhul amiin ‘alaa qalbika’. Ketiga, ada pendapat mengatakan bahwa Jibril telah menyampaikan Al-Qur’an kepada Muhammad SAW secara maknawi lalu melafazkannya dengan bahasa Arab karena ahlus sama’ (malaikat) itu membaca Al-Qur’an dengan bahasa Arab.
Imam ar-Razi berkata di dalam tafsir al-Kasysyaf bahwa al-inzal secara bahasa berarti ‘al-iiwaa’ yang artinya menempatkan, juga berarti menggerakkan sesuatu dari atas ke bawah. Kedua makna ini tidak ada dan tidak terwujud dalam ucapan alias makna majazi yang merupakan suatu nilai yang melekat pada Dzat Allah SWT dan diikat dalam kata-kata dan huruf-huruf yang bermakna sebagaimana makna yang ada di lauh mahfudz.
Ada pendapat transimisi yang dimaksud seperti al-manqul, yaitu Jibril telah menerima kitab-kitab itu dari Allah secara ruhani atau telah menghafalkannya dari lauh al-mahfudz lalu turun (ke bumi) dengan membawa kitab-kitab itu kemudian menyampaikannya kepada para rasul.
Diantara sekian pendapat, Imam Suyuti sendiri berargumen bahwa Jibril menyampaikan makna al-Qur’an dengan lafaz, maka itu kita tidak boleh membaca hanya dengan makna, sebab membacanya (secara lafaz) dinilai ibadah sekaligus mukjizat bahasa. Karena terdapat makna-makna yang kompleks dan kaya pada setiap huruf dari Al-Qur’an. Jika awalnya transmisi pesan sakral hanya maknanya saja dari Jibril tanpa lafaz maka potensi penyimpangan makna bisa terjadi sebagaimana perubahan dan penyimpangan seperti Taurat dan Injil.
Proses transmisi inzal menunjukkan bahwa kondisi psikologis Rasulullah seperti kondisi psikologis manusia biasa pada umumnya. Awalnya menghadapi resepsi wahyu tidak mudah, namun sangat mengagumkan, terkadang meresahkan, selanjutnya terbiasa. Ada momen khusus yang dicitrakan seperti dentang bel dan terkadang di pinggir jalan.
Baca Juga: Membingkai Masa Depan: Merajut Tafsir Ideal di Era Pergeseran (Konstruksi Tafsir Ideal Masa Depan)
Suatu ketika audiens menyaksikan ekspresi nabi Muhammad tegang dan keningnya keringat berkilauan meskipun di pagi yang sejuk sebagaimana riwayat ‘Aisyah RA, termasuk saat tidur atau Ingrid Mattson sebut al-isra’ sebagai pendakian surgawi. Kondisi ini difahami bahwa Rasulullah tidak mengada-ngada atau mengarang ‘perkataan suci’ sekaligus menegaskan posisi agungnya firman Allah SWT.
Al-Qur’an dan qira’ah adalah dua hakikat yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, sementara qira’ah adalah aneka perbedaan berbagai lafadz wahyu yang terdapat pada huruf-huruf atau cara membacanya, seperti cara menipiskan, menebalkan, dan lain-lain. Akan tetapi al-Qur’an memuat makna-makna dan pesan suci sekaligus menghimpun segala pesan baik yang ada dalam kitab suci sebelumnya yang bisa difahami melalui qira’ah struktur dan makna lafaznya.
Bagaimana dengan Taurat dan Injil? Kedua kitab suci ini merupakan kumpulan bacaan juga yang terkonvensi dalam bentuk bahasa Ibrani dan Syiria. Namun keistimewaan al-Qur’an adalah terkonvensi dalam bentuk bahasa Arab sebab konteks kejadian yang direspon terikat dalam konstruksi kultur bangsa Arab yang sistem budayanya sudah terbentuk, kompleks, dan maju dibandingkan umat sebelumnya. Jadi, al-Qur’an responsif lintas generasi dan tempat. Jelas terlihat bahwa al-Qur’an merekam lintas peristiwa dan pelaku sejarah dari masa lampau, juga penegasan penyimpangan umat Yahudi dan Nashrani sekaligus memperbaiki citra buruk nabi-nabi sebelumnya.
Nabi Muhammad merespon kejadian melalui konstruk sosial bangsa Arab melalui bahasa Arab, namun bahasa Arab al-Qur’an diyakini paling indah, ringan, halus dan maju. Jika menilik Q.S. Ibrahim: 4 seakan-akan al-Qur’an mendominasi semua bahasa termasuk bahasa Arab, dan lebih kaya dibandingkan kosakata bahasa Roma, Persia, dan Habasyah kala itu.
Bukti beberapa tekstual ayat membantah kecurigaan anggapan golongan atheis bahwa al-Qur’an merupakan jejak sejarah. Disini tampak tumpang tindih pemahaman al-Qur’an sebagai suatu yang sakral atau profan. Namun bagaimanapun, pemahaman yang dibangun dengan konstruksi epistemologi yang tepat akan membuahkan pemahaman reflektif untuk meningkatkan kesadaran dan keimanan bahwa al-Qur’an menyapa umat manusia lintas generasi melalui teks, konteks, dan kontekstualisasi.