Seandainya Tuhan yang Maha Mutlak dan Maha Gaib tidak berkenan memperkenalkan diri-Nya, niscaya manusia tidak akan pernah mampu mengenal-Nya. Sebab, keterbatasan akal dan indra manusia tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya yang Mahasempurna. Rasulullah ﷺ telah mengingatkan agar manusia tidak mencoba memahami zat Tuhan secara langsung, melainkan cukup merenungkan jejak-jejak kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya. Allah, dengan kasih sayang-Nya, memperkenalkan diri-Nya melalui berbagai cara, setidaknya melalui dua jalan utama, yakni berupa tanda-tanda kebesaran di alam semesta dan petunjuk wahyu melalui para rasul.
Jejak Kebesaran Tuhan dalam Alam Semesta
Allah menampakkan kebesaran-Nya melalui ciptaan-Nya yang terbentang luas, dari gugusan bintang di langit hingga partikel renik seperti bakteri dan virus. Setiap sudut alam adalah ayat-ayat Tuhan, tanda-tanda kebesaran-Nya yang jika direnungi dengan hati yang tulus dan akal yang jernih, akan mengantarkan manusia kepada keimanan. Allah berfirman:
إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَءَايَٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran: 190)
Banyak ilmuwan yang akhirnya menemukan keimanan setelah meneliti ayat-ayat kauniyah, yaitu tanda-tanda kebesaran Allah dalam hamparan semesta. Al-Qur’an tidak hanya mengajarkan untuk membaca ayat-ayat tertulis dalam kitab-Nya, tetapi juga merenungi tanda-tanda kebesaran-Nya yang tersirat dalam ciptaan-Nya. Allah berfirman:
سَنُرِيهِمْ ءَايَٰتِنَا فِى ٱلْءَافَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segala penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah kebenaran.” (QS. Fussilat: 53)
Selain itu, manusia juga diperintahkan untuk membaca ayat-ayat nafsiyah, yaitu keajaiban yang tertanam dalam diri sendiri mulai dari sistem kerja triliunan sel dalam tubuh hingga keunikan karakter setiap insan. Ada pula ayat-ayat tarikhiyah, yaitu pelajaran dari sejarah umat manusia: bagaimana peradaban tumbuh dan runtuh, serta bagaimana Allah menetapkan sunnatullah dalam kehidupan. Segala peristiwa ini bukan terjadi secara acak, melainkan berada dalam kendali Allah yang Maha Bijaksana.
Bukankah semua keajaiban ini adalah manifestasi (tajalli) dari Allah yang memberi kesempatan bagi manusia untuk mengenal-Nya lebih dalam?
Petunjuk Ilahi Melalui Para Rasul
Selain menampakkan kebesaran-Nya melalui alam semesta, Allah juga memperkenalkan diri-Nya melalui utusan-Nya, para rasul yang membawa wahyu. Kehadiran para rasul bukan sekadar pembawa risalah, tetapi juga bukti nyata kasih sayang Allah kepada umat manusia, agar mereka tidak tersesat dalam kebingungan dan ketidaktahuan.
Sebagaimana dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan bimbingan dari orang yang lebih berilmu dalam suatu bidang, demikian pula dalam perkara iman, manusia memerlukan petunjuk dari utusan Allah. Para rasul tidak hanya menyampaikan wahyu, tetapi juga menjadi teladan hidup yang nyata bagi umatnya. Allah memilih mereka dari kalangan manusia yang paling mulia, membimbing mereka dengan wahyu, dan mengaruniakan sifat-sifat luhur kepada mereka agar menjadi panutan bagi seluruh umat manusia.
Allah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah, dan jauhilah Thaghut’.” (QS. An-Nahl: 36)
Ciri utama seorang rasul meliputi:
- Kepribadian yang luhur – Rasul memiliki akhlak yang mulia dan terpercaya. Mereka dikenal sebagai orang-orang jujur, amanah, dan penuh kasih sayang kepada umatnya, sehingga masyarakat di sekitarnya bersaksi atas kebaikan akhlak mereka.
- Ajaran yang selaras dengan akal dan fitrah – Ajaran yang dibawa para rasul selalu sejalan dengan nalar yang sehat dan fitrah manusia, tidak bertentangan dengan logika yang benar.
- Membawa perubahan positif – Ajaran mereka tidak hanya mengubah individu tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, membawa manusia dari kegelapan menuju cahaya kebenaran, meskipun sering menghadapi tantangan dan perlawanan.
- Menjawab kegelisahan manusia – Ajaran para rasul memberikan jawaban atas pertanyaan mendasar tentang hakikat hidup, tujuan keberadaan, dan jalan menuju kebahagiaan hakiki.
Meskipun kaum ateis modern mencoba membantah eksistensi Tuhan dengan mengandalkan sains, kenyataan menunjukkan bahwa semakin dalam manusia menyelami ilmu pengetahuan, semakin mereka menyadari keterbatasan akal dalam memahami alam semesta ini. Setiap bukti yang ditemukan dalam ilmu pengetahuan justru memperkuat kehadiran Tuhan, karena semakin kompleks dan teratur alam ini, semakin mustahil ia muncul tanpa kehendak dan aturan dari Sang Pencipta. Oleh sebab itu, keimanan kepada Tuhan bukan hanya bertahan, tetapi juga terus berkembang seiring bertambahnya pengetahuan manusia.
Menyapa Allah dengan Nama-Nama-Nya
Dalam Islam, Allah memperkenalkan diri-Nya melalui Asmaul Husna, 99 nama indah-Nya yang mencerminkan sifat dan keagungan-Nya. Nama-nama ini bukan sekadar sebutan, tetapi merupakan jalan bagi manusia untuk memahami dan mendekatkan diri kepada-Nya sesuai dengan keadaan dan kebutuhan mereka. Setiap nama mencerminkan dimensi tertentu dari kasih sayang, kebijaksanaan, kekuasaan, dan keadilan Allah yang tak terbatas.
Allah berfirman:
وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah Asmaul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asmaul Husna itu.” (QS. Al-A’raf: 180)
Asmaul Husna menjadi sarana bagi manusia untuk mengenali sifat-sifat Allah dan memahami bahwa Dia senantiasa hadir dalam setiap aspek kehidupan mereka. Misalnya, ketika seseorang merasa lemah dan membutuhkan pertolongan, dia dapat memohon kepada Allah dengan menyebut Al-Qawiyy (Maha Kuat). Saat merasa gelisah dan butuh ketenangan, dia bisa berdoa dengan nama As-Salam (Maha Pemberi Kedamaian). Dalam keadaan sulit, seseorang dapat berharap kepada-Nya dengan nama Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki) atau Al-Fattah (Maha Pembuka Jalan).
Lebih dari sekadar bacaan, Asmaul Husna juga menjadi cerminan bagi manusia dalam meneladani sifat-sifat ilahi. Rasulullah ﷺ bersabda:
إن لله تِسْعَةً، وتِسْعِينَ، اسْمًا، مِائَةً إلا واحدا مَنْ أَحْصَاهَا دخل الجنة
“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, seratus kurang satu. Barang siapa yang menghafalnya (memahaminya), maka dia akan masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan mengenali dan merenungkan nama-nama Allah, manusia semakin memahami kebesaran dan kehadiran-Nya dalam kehidupan. Asmaul Husna bukan hanya untuk dihafalkan, tetapi juga dijadikan pedoman dalam bersikap dan bertindak. Dengan menyebut Ar-Rahman (Maha Pengasih), seorang hamba diingatkan untuk menebarkan kasih sayang. Dengan menyebut Al-‘Adl (Maha Adil), ia terdorong untuk bersikap adil dalam segala hal. Begitu pula dengan nama As-Sabur (Maha Penyabar), yang mengajarkan manusia untuk bersikap tenang dalam menghadapi ujian hidup.
Bayangkan jika manusia tidak diberi petunjuk tentang nama-nama Tuhan, betapa sulitnya menyapa dan berdialog dengan-Nya. Oleh karena itu, Asmaul Husna laksana kata sandi yang membantu manusia membangun hubungan yang lebih dekat dengan Sang Pencipta. Setiap kali seorang hamba menyebut nama-nama-Nya dengan penuh kesadaran dan keyakinan, ia semakin memahami kebesaran dan kehadiran Allah dalam hidupnya. Dengan begitu, keimanan pun semakin kokoh, dan hati semakin tenteram dalam naungan kasih sayang-Nya.
Mengenal Tuhan Melalui Perenungan Batin
Selain melalui ayat-ayat kauniyah dan wahyu yang diturunkan kepada para rasul, manusia juga dapat mengenal Tuhan melalui perjalanan spiritual yang mendalam. Jiwa yang suci akan selalu merindukan perjumpaan dengan-Nya, karena dalam diri manusia terdapat ruh yang ditiupkan oleh Allah. Namun, dalam mendekati-Nya, manusia juga perlu menyadari keterbatasannya.
Dalam Islam, terdapat konsep tanzih, yaitu pensucian Allah dari segala bentuk keserupaan dengan makhluk-Nya. Teologi negatif menekankan bahwa Tuhan adalah Maha Mutlak dan tidak dapat dijangkau sepenuhnya oleh akal manusia yang terbatas. Apa pun konsep yang manusia bayangkan tentang Tuhan, sesungguhnya itu tetap tidak mampu menggambarkan hakikat-Nya yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ
“Dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al-Ikhlas: 4)
Hal ini juga ditegaskan dalam ayat lain:
لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَٰرَ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.” (QS. Al-An’am: 103)
Karena keterbatasan manusia dalam memahami esensi Tuhan, Islam mengajarkan pendekatan yang lebih praktis dalam mengenal-Nya, yaitu dengan menghayati sifat-sifat-Nya yang tercermin dalam Asmaul Husna serta merenungi jejak kebesaran-Nya dalam ciptaan. Daripada berusaha memahami zat-Nya yang tidak terjangkau, manusia dianjurkan untuk mendekat kepada-Nya dengan hati yang penuh ketundukan, merenungkan keagungan-Nya dalam kehidupan, dan merasakan kehadiran-Nya melalui tanda-tanda kebesaran-Nya di alam semesta maupun dalam diri mereka sendiri.
Akhir Kalam
Allah memperkenalkan diri-Nya kepada manusia melalui berbagai cara. Ada yang melalui wahyu yang diturunkan kepada para rasul dan kitab suci, ada yang melalui penciptaan alam semesta yang penuh dengan tanda-tanda kebesaran-Nya, dan ada pula yang melalui perjalanan batin yang dalam. Semua jalan ini mengarah pada satu tujuan: agar manusia mengenal dan mengimani-Nya dengan penuh keyakinan.
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa berusaha mengenali dan mendekatkan diri kepada Allah melalui tanda-tanda yang telah Dia hamparkan dalam kehidupan ini. Aamiin Allahumma Aamiinn.