ulumulhadis.id – Dalam kurun waktu 2005 hingga 2024, kajian living hadis memiliki dinamika yang cukup asyik dan beragam. Mulai dari kajian mengenai bagaimana dispilin ini muncul, penerapannya hingga kritik terhadap kajian living hadis terus dilontarkan dan dikembangkan oleh para pengkaji hadis.
Seperti yang dilakukan oleh Suryadi, Agung Danarta dan Muhammad Alfatih Suryadilaga dalam penyusunan naskah buku ajar Program Studi Tafsir Hadis, istilah living hadis sudah mulai digunakan dan tercatat dalam buku tersebut, yang dimana buku ini merupakan salahsatu sumber primer sebagai data historis mengenai sejarah kajian living hadis di Indonesia.[1]
Kemudian pada tulisan lainnya di kemudian hari ada penelitian dari Hasan Su’adi yang membahas mengenai tradisi “NGAPATI” dalam tradisi masyarakat Banyuurip.[2] Lalu terakhir, pada tahun 2024 ini ada penelitian dari Husna beserta timnya yang membahas mengenai doktrin yang diajarkan pada santri Madinatul Munawwarah Bukittinggi tentang larangan tidur setelah sholat Ashar.[3]
Munculnya kajian Living Hadis tidak bisa dilepaskan dari sejarah munculnya kajian Living Qur’an. Embrio pemikiran atau kajian ini bermula ketika ada sebuah diskusi di Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Tafsir Hadis Indonesia pada tahun 2005. Kala itu tema yang diangkat adalah “Living Alquran: Alquran sebagai fenomena sosial budaya”.[4]
Lalu berangkat dari diskusi ini pemikiran serta wacana mengenai living hadispun muncul. Meskipun tidak secara tiba tiba. Mengingat kajian dengan istilah yang hampir mirip dengan living hadis yakni living sunnah atau living tradition sudah jauh lebih dulu ada ketimbang Living Alquran. Bahkan, wacana kajian Living Alquran bisa jadi berasal dari pemikiran living sunnah atau living tradition yang sudah digagas oeh Fazlur Rahman.[5]
Pada mulanya kajian living hadis masih sangat abu-abu atau tidak jelas titik kajiannya dimana, sehingga seringkali banyak pengkaji hadis yang masih malu-malu atau bahkan secara sadar menggabungkan atau menyamakan dua istilah yang berbeda kedalam satu bahasan yang berbeda jua namun agak dipaksakan agar sama, yakni living sunnah dan living hadis.
Seperti yang dilakukan oleh Umi Sumbullah dalam karyanya yang berjudul Islam dan Ahlul kitab Perspektif Hadis, ia tak segan menyebut bahwa kajian living hadis adalah kajian living sunnah itu sendiri. Dan ia lebih memilih menggunakan istilah kajian ini dengan diksi living sunnah ketimbang living hadis. Meskipun demikian ia menegaskan bahwa living sunnah yang dimaksud berbeda dengan konsep living sunnah yang digagas oleh Fazlur Rahman.[6]
Lantas bagaimana sebenarnya teori living hadis itu? serta bagaimana perbedaannya dengan teori living sunnah ala Fazlur Rahman? Pada tulisan kali ini kita kan fokus pada teori dan metodologi penelitian living hadis yang ditawarkan oleh para penggagas kajian living hadis. Kita mulai dari teorinya terlebih dahulu.
Menurut Fazlur Rahman, kajian living sunnah adalah sunnah yang hidup di era sahabat dan tabiin. Artinya pada saat itu sunnah atau Rahman menyebutnya dengan tradition berkembang dan tertransmisikan dikalangan sahabat bukan hanya secara verbal tapi lebih kepada amalan atau praktik (sunnah/tradisi) sehingga seringkali ada semacam kreativitas dari para sahabat ketika menemukan sebuah realita yang tidak sama dengan realita era nabi.
Misalnya saja yang sering dijadikan contoh adalah kreativitas yang dilakukan oleh Umar bin Khattab ketika dihadapkan dengan problematika “tanah rampasan perang” yang akhirnya ia berijtihad mengenai hal tersebut dan disepakati oleh sebagian sahabat. Ijtihad yang dilakukan oleh Umar inilah yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai sunnah yang hidup atau living sunnah.
Adapun Living Hadis pada akhirnya mampu menunjukan identitasnya baru-baru ini setidaknya pada awal tahun 2024 ini telah terbit tulisan terbaru dari Saifuddin Zuhri Qudsy Bersama timnya mengenai “Dapur Kajian Living Hadis”. Pada tulisannya Saifuddin menjelaskan bahwa ada lima teori utama dalam kajian living hadis yakni teks, transmisi, transformasi, praktik dan resepsi. Adapun ia menggambarkan teori ini dalam bagan dibawah ini:[7]
Gambar 1. Bagan Teori Living Hadis[8]
Kemudian jika kita kembali menarik mundur secara historis kita akan menemukan kebingungan atas penggunaan istilah living sunnah dan living hadis pada kajian ini di era awal. Sebagaimana tawaran pendekatan serta metodologi penelitian yang ditawarkan oleh Nurun Najwaj meneliti kajian living sunnah salah satunya adalah pendekatan rekonstruksi pemahaman hadis sebagaimana yang dijelaskan oleh Nurun Najwah dalam tulisannya yang berjudul Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah.[9]
Nurun Najwah menjelaskan bahwa dalam penelitian living sunnah setidaknya melalui dua tahap yakni melakukan penelusuran dan uji otentisitas hadis lalu tahap kedua adalah melakukan proses hermeneutika terhadap hadis. Namun perlu penulis pertegas bahwa yang dimaksud living sunnah disini berbeda dengan living sunnah ala Rahman. Langkah kongkrit dari dua tahap diatas dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Menetapkan hadis yang akan diteliti
- Melakukan uji validitas terhadap sanad dan matan hadis
- Interpretasi hadis
- Memilih informan yang tepat
- Memilih Teknik pengumpulan data yang tepat
- Melakukan pengumpulan data
- Analisis data
- Menguji validitas data
- Menyusun laporan penelitian.
Kesembilan Langkah diatas adalah Langkah penelitian living sunnah (maksudnya living hadis) yang dilakukan oleh Nasrulloh dalam penelitiannya yang membahas mengenai hadis-hadis misoginis dalam perspektif NU, Muhammadiyah dan HTI dengan menggunakan pendekatan Living Sunnah (maksudnya: Living Hadis).[10]
Dari paparan di atas, dinamika kajian Living Hadis di Indonesia sejak 2005 hingga 2024 mencerminkan perkembangan yang signifikan dalam pengkajian hadis. Berawal dari sebuah kajian di Yogyakarta tentang Living Quran, kajian Living Hadis mulai muncul dan menjadi topik pembahasan yang menarik. Meskipun demikian, ada kebingungan dalam membedakan antara Living Hadis dan Living Sunnah, terutama pada awalnya di mana kedua istilah tersebut sering disamakan atau digabungkan dalam satu bahasan. Meskipun pada awalnya masih terjadi kebingungan dan kesamaran dalam konsep, namun dengan munculnya teori-teori seperti yang dijelaskan oleh Saifuddin Zuhri Qudsy pada tahun 2024, kajian Living Hadis mulai menunjukkan identitasnya sendiri.
[1] Muhammad Alfatih et al., Metodologi Penelitian Hadis (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2006).
[2] Hasan Su’adi, “‘NGAPATI’ DALAM TRADISI MASYARAKAT BANYUURIP Studi Living Hadits,” Jurnal Penelitian 12, no. 2 (2015): 244, https://doi.org/10.28918/jupe.v12i2.652.
[3] Husna Husna et al., “Living Hadis Larangan Tidur Setelah Sholat Ashar Pada Santri Pondok Pesantren Madinatul Munawwarah Bukittinggi Husna Husna Riri Fitria Taufiqurrahman Taufiqurrahman,” no. 2 (2024).
[4] Alfatih et al., Metodologi Penelitian Hadis, 193.
[5] Suryadi, “Dari Living Sunnah ke Living Hadis,” in Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadiis, ed. oleh Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: TERAS, 2007), 89–104.
[6] Umi Sumbulah, Islam dan Ahlul Kitab Perspektif Hadis (malang: UIN MALIKI PRESS, 2012), 187.
[7] Saifuddin Zuhri Qudsy et al., “The making of living ḥadīth: a new direction of ḥadīth studies in Indonesia,” Culture and Religion, 21 April 2024, 1–20, https://doi.org/10.1080/14755610.2024.2336461.
[8] Qudsy et al., 15.
[9] Nurun Najwah, “Tawaran Metode dalam Studi Living Sunnah,” in Metode Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), 135–52.
[10] Nasrulloh, Hadits-Hadits Anti Perempuan Kajian Living Sunnah Perspektif NU, Muhammadiyah dan HTI (malang: UIN MALIKI PRESS, 2015).