Secara bahasa, “Mudallas” berasal dari kata دلس – يدلس – تدليس – مدلس yang berarti menyembunyikan sesuatu. Dalam istilah ilmu hadis, hadis mudallas merujuk kepada “hadis yang disembunyikan cacatnya sehingga tampak seolah-olah ia tidak memiliki kekurangan.” Terdapat kesesuaian makna antara pengertian secara bahasa dan istilah ini, yaitu keduanya sama-sama berkaitan dengan upaya menyembunyikan kekurangan.
Jenis-Jenis Hadis Mudallas
Dalam kajian ilmu hadis, hadis mudallas terbagi menjadi tiga jenis utama, yaitu Tadlis al-Isnad, Tadlis al-Taswiyah, dan Tadlis al-Syuyukh. Setiap jenis memiliki karakteristik dan implikasi tersendiri dalam penilaian keabsahan sebuah hadis.
1. Tadlis al-Isnad
Tadlis al-Isnad terjadi ketika seorang periwayat meriwayatkan hadis dari gurunya, padahal ia sebenarnya tidak mendengar hadis itu secara langsung darinya. Periwayat menggunakan ungkapan samar seperti “dari Fulan” sehingga terlihat seolah-olah hadis itu ia peroleh langsung dari gurunya.
Sebagai Ilustrasi:Fulan adalah murid A, tetapi hadis yang ia riwayatkan berasal dari B, yang mendapatkannya dari A. Ketika meriwayatkan, Fulan menggugurkan B dan mengatakan, “dari A,” sehingga tampak sanadnya bersambung. Orang yang kurang teliti dapat mengira hadis ini bersambung karena Fulan memang murid A. Namun setelah diteliti lebih jauh, ternyata ia mendapatkannya melalui perantara B.

Mengapa ini tidak dianggap dusta?
Karena Fulan tidak menyatakan bahwa A menyampaikan langsung kepadanya dengan ungkapan seperti حدثنا atau أخبرنا. Namun, jika ia menggunakan ungkapan ini, perbuatannya dianggap dusta karena faktanya ia tidak mendengar langsung dari A.
Contoh Hadis Tadlis al-Isnad
Abu ‘Awanah meriwayatkan dari al-A’masy bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“فلان في النار ينادي: يا حنان يا منان.”
(“Si Fulan berada di neraka sambil berseru: ‘Ya Hannan, ya Mannan.’”)
Ketika Abu ‘Awanah bertanya kepada al-A’masy:
“هل سمعت هذا من إبراهيم؟”
(“Apakah Anda mendengar hadis ini langsung dari Ibrahim?”)
Al-A’masy menjawab:
“لا، حدثني به حكيم بن جبير عنه.”
(“Tidak, aku mendengarnya dari Hakim bin Jubair, dari Ibrahim.”)
Penjelasan Sanad:
- Sanad asli sebelum tadlis:
- Dari Abu ‘Awanah → dari al-A’masy → dari Hakim bin Jubair → dari Ibrahim → dari ayahnya → dari Abu Dzar → dari Nabi ﷺ.
- Sanad setelah dilakukan tadlis:
- Dari Abu ‘Awanah → dari al-A’masy → dari Ibrahim → dari ayahnya → dari Abu Dzar → dari Nabi ﷺ.
Dalam kasus ini, al-A’masy melakukan tadlis dengan menghilangkan nama Hakim bin Jubair, seorang perawi yang lemah, sehingga sanad terlihat bersambung langsung dari al-A’masy kepada Ibrahim. Praktik ini merupakan bentuk tadlis al-isnad, di mana perawi tidak menyebutkan perawi yang ia dengar, tetapi memberikan kesan seolah-olah ia meriwayatkan langsung dari perawi berikutnya.
Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya memeriksa sanad dengan cermat, karena meskipun terlihat sahih, ada kemungkinan tersembunyi perawi yang lemah di dalamnya.
2. Tadlis al-Taswiyah
Tadlis al-Taswiyah hampir serupa dengan tadlis al-isnad, tetapi perbedaannya terletak pada posisi periwayat yang digugurkan. Dalam tadlis al-taswiyah, yang digugurkan adalah periwayat lemah yang berada di antara dua periwayat yang saling bertemu dan sama-sama siqah.
Sebagai Ilustrasi:Fulan meriwayatkan hadis dari gurunya, A (siqah), melalui B (periwayat lemah), yang mendengar dari C (siqah). Karena ingin sanad terlihat lebih bagus, Fulan menggugurkan B dan meriwayatkannya seolah-olah langsung dari A ke C.

Mengapa hal ini dilakukan?
Karena jika B disebutkan dalam sanad, hadis itu akan dianggap lemah. Dengan menggugurkannya maka, hadis tersebut terlihat seolah-olah sanadnya sahih.
Contoh hadis tadlis al-taswiyah:
Contoh yang sering dijadikan rujukan untuk Tadlis at-Taswiyah adalah hadis yang diriwayatkan dengan sanad berikut:
هشام بن خالد الأزرق → بقية بن الوليد → ابن جريج → عطاء → ابن عباس → Rasulullah ﷺ. Dalam matannya disebutkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “من أصيب بمصيبة من سقم أو ذهاب مال فاحتسب ولم يشك إلى الناس كان حقا على الله أن يغفر له”.
Dalam sanad ini, Baqiyyah bin al-Walid – seorang perawi yang dikenal sering melakukan Tadlis at-Taswiyah – menghilangkan seorang perawi majruh yang sebenarnya berada di antara dirinya dan Ibn Jureij. Untuk menyamarkan kelemahan ini, ia menggunakan sighat “حدثنا” (hadatsana), yang memberikan kesan bahwa ia menerima hadis tersebut secara langsung dari Ibn Juraij. Dengan demikian, sanad ini tampak bersambung sempurna dan hanya terdiri dari perawi tsiqah, padahal sebenarnya terdapat perawi lemah yang disembunyikan.
Imam Abu Hatim ar-Razi dengan tegas menolak hadis ini, menyatakan bahwa ia mawdu’ (palsu) karena adanya cacat dalam sanad akibat Tadlis at-Taswiyah yang dilakukan oleh Baqiyyah bin al-Walid. Menurut Abu Hatim, tindakan seperti ini adalah bentuk manipulasi dalam periwayatan yang menyesatkan para pendengar dan ulama.
Lebih lengkapnya , di dalam kitab “Al-Jarh wa al-Ta’dil” karya putranya, Ibn Abi Hatim, terdapat riwayat yang menunjukkan sikap kritis Abu Hatim terhadap hadis yang diriwayatkan oleh Baqiyyah. Misalnya, ketika ditanya tentang hadis yang diriwayatkan oleh Baqiyyah dari Habib bin ‘Umar, Imam Abu Hatim menilai hadis tersebut sebagai munkar (objectionable) dan menyatakan bahwa Habib bin ‘Umar adalah perawi yang lemah dan tidak dikenal, serta hanya diriwayatkan oleh Baqiyyah.
Sebagai tambahan, Imam Yahya bin Ma’in juga mengecam keras praktik ini. Beliau mengatakan:
(لا يفعل، لعل الحديث عن كذاب ليس بشيء، فإذا هو قد حسنه وثبته، ولكن يحدث به كما روي).
“Jangan lakukan itu! Bisa jadi hadis itu berasal dari seorang pendusta dan tidak memiliki nilai apa pun. Namun, perawi yang melakukan tadlis justru memperbagusnya dan menjadikannya kokoh. Padahal, hadis itu harus diriwayatkan sebagaimana adanya.”
3. Tadlis al-Syuyukh
Tadlis asy-syuyukh adalah praktik seorang perawi yang meriwayatkan hadis dari gurunya (syaikhnya) tetapi menyebut nama, kunyah, nasab, atau memberikan deskripsi tentang gurunya dengan cara yang tidak dikenal. Tujuannya adalah agar identitas asli gurunya tidak diketahui.
Mengapa ini dilakukan?
- Agar identitas gurunya tidak diketahui.
- Karena ego, misalnya tidak ingin dikenal sebagai murid dari seseorang yang lebih muda darinya.
- Sebagai variasi penyebutan karena terlalu sering meriwayatkan dari guru yang sama.
Apakah tadlis al-syuyukh otomatis membuat sanad lemah?
Tidak selalu. Jika guru yang disamarkan adalah periwayat yang siqah, sanad tetap dianggap kuat. Namun jika yang disamarkan adalah periwayat lemah, maka sanad akan menjadi cacat.
Hukum Tadlis Asy-Syuyukh: Secara umum, tadlis asy-syuyukh dianggap lebih ringan hukumnya dibandingkan jenis tadlis lainnya, seperti tadlis isnad. Sebab, identitas asli dari guru yang ditutupi (didislis) dapat dikenali oleh ahli hadis yang mendalami nama-nama dan biografi para perawi.
Namun, tingkat keberatan (karahah) terhadap praktik ini bervariasi tergantung pada motif perawi yang melakukannya. Berikut adalah beberapa kondisi yang memengaruhi hukum tadlis ini:
- Jika dilakukan untuk menyembunyikan kelemahan gurunya: Tadlis menjadi tercela jika perawi sengaja menyamarkan identitas gurunya yang lemah (dha’if) agar terkesan bahwa ia meriwayatkan dari seorang perawi terpercaya (tsiqah).
- Jika bertujuan untuk memperbanyak jumlah guru: Ada kalanya perawi melakukan tadlis untuk menunjukkan seolah-olah ia memiliki banyak guru (syuyukh), meskipun itu tidak benar.
- Jika tidak ada motif negatif: Apabila tidak ada niat buruk, seperti menyembunyikan kelemahan guru, maka hukumnya lebih ringan dan tidak terlalu dipermasalahkan.
Contoh Kasus: Seorang perawi bernama al-Harith bin Abi Usamah meriwayatkan hadis dari seorang hafizh terkenal, yaitu Abu Bakr Abdullah bin Muhammad bin Ubaid bin Sufyan, yang lebih dikenal dengan nama Ibn Abi ad-Dunya. Namun, dalam riwayatnya, al-Harith melakukan tadlis dengan cara menyebut gurunya tersebut dengan beberapa nama berbeda:
- Kadang ia menyebutnya sebagai Abdullah bin Ubaid.
- Di lain waktu menyebutnya Abdullah bin Sufyan.
- Atau bahkan menyebutnya Abu Bakr bin Sufyan.
Fenomena Tadlis dalam Kitab-Kitab Ulama: Jenis tadlis ini sering ditemukan dalam karya-karya ulama yang lebih belakangan (muta’akhkhirin). Banyak di antara mereka yang melakukannya dengan tujuan untuk:
- Mengasah kecerdasan murid: Menguji kemampuan para murid dalam meneliti sanad dan mengenali para perawi.
- Menarik perhatian pelajar ilmu hadis: Agar mereka lebih cermat dalam memahami nama, kunyah, nasab, dan keadaan para perawi.
- Meningkatkan ketelitian dalam kajian ilmiah: Mendorong pelajar untuk menelusuri lebih dalam tentang biografi para perawi.
Ulama telah menyusun daftar lengkap perawi yang dikenal memiliki nama, kunyah, atau deskripsi yang beragam sehingga mempermudah identifikasi mereka.
Motivasi dan Hukum Tadlis
Motivasi periwayat melakukan tadlis beragam, seperti:
- Menutupi kelemahan periwayat dalam sanad.
- Ego, terutama jika gurunya lebih muda darinya.
- Ingin memiliki sanad yang lebih tinggi (ali).
- Kebosanan menyebut nama yang sama berulang-ulang.
- Ingin mencantumkan hadis yang sebenarnya tidak ia dengar langsung dari gurunya.
Adapun hukum periwayatan seorang mudallis:
- Pendapat pertama: Riwayatnya tertolak karena dianggap sama dengan berdusta.
- Pendapat kedua: Riwayatnya diterima selama ia hanya menyamarkan periwayat siqah.
- Pendapat ketiga: Riwayatnya diterima jika menggunakan redaksi حدثنا atau أخبرنا, tetapi jika hanya menggunakan عن, hadisnya dianggap lemah.
- Pendapat keempat: Riwayat mudallis yang hidup dalam tiga abad pertama Hijriyah diterima, sedangkan setelah itu tidak.
- Pendapat kelima (terkuat): Riwayat diterima jika mudallis menggunakan redaksi yang menunjukkan mendengar langsung, tetapi ditolak jika menggunakan ungkapan samar.
Akhir Kalam
Dengan memahami berbagai jenis tadlis, motivasinya, serta hukum periwayatannya, dapat disimpulkan bahwa hadis mudallas bukanlah sesuatu yang secara otomatis ditolak. Keberterimaan hadis mudallas sangat bergantung pada konteks tadlis tersebut, tingkat kepercayaan terhadap perawi yang melakukannya, serta keberadaan jalur penguat seperti mutaba‘at dan syawahid. Oleh karena itu, sikap kehati-hatian dalam menilai hadis mudallas adalah bagian dari disiplin ilmu hadis yang penting.