Imam Ahmad bin Hanbal: Pembela Hadis dan Pendiri Mazhab Hambali

Hadi Wiryawan

Imam Ahmad bin Hanbal, yang dikenal dengan nama lengkap Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Usd bin Idris bin Abdullah bin Hayyan ibn Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban, lahir di Baghdad, Irak pada tahun 164 H/780 M. Beliau lebih akrab dipanggil Abu Abdullah dalam kesehariannya. Sejak usia dini, Ahmad bin Hanbal menunjukkan kecerdasan luar biasa dan minat mendalam terhadap ilmu agama. Ia mulai menuntut ilmu hadis pada usia 16 tahun, menandai awal perjalanan panjangnya dalam mencari pengetahuan.

Perjalanan Ilmu Imam Ahmad bin Hanbal

Pada tahun 183 H, Ahmad bin Hanbal memulai perjalanan ilmiahnya dengan berangkat ke Kufah. Setahun kemudian, ia melanjutkan ke Basrah dan kemudian ke Makkah pada tahun 197 H. Dalam pencarian ilmunya, ia tidak hanya mengunjungi kota-kota besar seperti Syam (Suriah), Yaman, dan Maroko, tetapi juga menjelajahi Persia, Khurasan, dan berbagai daerah lainnya. Dalam perjalanan panjang ini, beliau bertemu dan belajar dari berbagai ulama besar, termasuk:

  1. Sufyan bin Uyaynah
  2. Ibrahim bin Sa’ad
  3. Yahya bin Sa’id al-Qatthan
  4. Husyaim bin Basyir
  5. Mu’tamar bin Sulaiman
  6. Ismail bin Aliyah
  7. Waid bin al-Jarrah
  8. Abd al-Rahman al-Mahdi
  9. Imam al-Syafi’i

Di antara guru-gurunya, Imam al-Syafi’i memiliki pengaruh besar dalam pembentukan keilmuan Ahmad bin Hanbal. Ahmad mengikuti kuliah Imam al-Syafi’i tentang fiqh dan Ushul Fiqh dari tahun 195 H hingga 197 H, baik ketika al-Syafi’i berada di Baghdad maupun dalam perjalanannya.

Tekanan Politik dan Ujian Keteguhan

Periode pemerintah Khalifah al-Makmun (198 H) ditandai oleh dominasi aliran Mu’tazilah yang berusaha memaksakan ideologi mereka, termasuk paham kemakhlukan Al-Qur’an. Penguasa Mu’tazilah, Qadhi al-Qudwah Ahmad bin Dawud, mendesak agar paham ini diterima secara resmi, yang menimbulkan perlawanan keras dari para ahli fiqh Ahlussunnah.

Ahmad bin Hanbal menjadi salah satu tokoh utama yang menolak paham tersebut. Keteguhan sikapnya menghadapi ancaman dan penyiksaan dari pemerintah Mu’tazilah sangat mencolok. Ahmad bin Hanbal ditangkap dan diikat rantai oleh Khalifah al-Makmun dan diusulkan untuk dipindahkan ke Tarsus. Namun, kematian al-Makmun terjadi sebelum Ahmad mencapai Tarsus, sehingga ia kembali ke Baghdad dan dipenjara.

Ketika Mu’tashim, penerus al-Makmun, melanjutkan kebijakan penindasan ini, Ahmad bin Hanbal mengalami penyiksaan yang lebih keras. Namun, keteguhan dan prinsipnya tidak goyang. Meskipun diancam dengan kekerasan dan rayuan, Imam Ahmad tetap teguh pada pendiriannya. Pada tahun 277 H, saat al-Watsiq menggantikan Mu’tashim, ada sedikit perubahan dalam kebijakan terhadap Ahmad, yang tidak lagi terlalu keras. Namun, keteguhan Imam Ahmad tetap diuji hingga Mutawakkil, yang memerintah mulai tahun 232 H, menggantikan al-Watsiq.

Mutawakkil, yang mendukung Ahlussunnah, mendukung Imam Ahmad bin Hanbal dan menjadikannya sebagai penasihat. Ia juga memerangi pengikut Mu’tazilah dan mengakhiri periode fitnah yang berlangsung dari tahun 218 H hingga 233 H. Keteguhan Imam Ahmad dalam mempertahankan prinsip dan kebenaran selama masa-masa sulit ini sangat mengesankan.

Pandangan Ulama tentang Imam Ahmad

Berbagai ulama memberikan pujian tinggi terhadap Imam Ahmad bin Hanbal. Imam al-Syafi’i berkata, “Ketika aku keluar dari Baghdad, aku tidak meninggalkan seseorang yang lebih ahli tentang fiqh, lebih saleh, lebih sederhana, dan lebih pandai daripada Ahmad bin Hanbal.” Abdullah bin Madini juga menyatakan, “Allah menguatkan Islam melalui dua orang: Abu Bakar pada masa pemberontakan kaum murtad, dan Ahmad bin Hanbal pada zaman Mihnah.” Sementara Bisyr bin al-Harts mengakui, “Ahmad itu seperti para Nabi.”

Abu Bakar al-Marwazi pernah menasehati Ahmad, “Mereka memukuli anda, padahal Allah berfirman: ‘Janganlah kamu binasakan dirimu sendiri.’” Namun, Ahmad menjawab dengan keyakinan kuat bahwa dia tidak akan menyimpang dari kebenaran demi kepentingan pribadi. Pujian ini tidak hanya menyanjung keteguhan dan keberanian Imam Ahmad, tetapi juga ketulusan dan dedikasinya terhadap agama.

Di samping keahliannya dalam ilmu agama, Ahmad bin Hanbal juga dikenal dengan sifat kesederhanaan dan kezuhudannya dalam menjalani kehidupan. Dia menolak segala bentuk hadiah atau kekayaan dari penguasa, dan tetap hidup sederhana meskipun diberi kesempatan untuk hidup mewah.

Murid-Murid Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad bin Hanbal melahirkan banyak murid yang meneruskan ilmunya dan mengembangkan ajaran-ajarannya. Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah:

  1. Abdullah bin Ahmad, putranya sendiri
  2. Abdullah bin Sa’id al-Wahsyi
  3. Ahmad bin al-Hasan at-Tirmidzi
  4. Ahmad bin Shaleh al-Mishri
  5. Hasan bin Shabah al-Washithi
  6. Abd al-Wahhab bin Abd al-Hakam al-Warraq
  7. Ishaq bin Hanbal, pamannya
  8. Ishaq bin Ibrahim al-Baghawi
  9. Abu Daud as-Sijistani, penulis kitab As-Sunan
  10. Abu Bakar al-Marwazi
  11. Muhammad bin Ismail at-Tirmidzi
  12. al-Hasan bin Ali al-Iskafi
  13. al-Hasan bin Muhammad al-Anmathi

Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sebagai pembela hadis Nabi yang gigih. Ia tidak menggunakan akal dalam memutuskan hukum kecuali jika sangat diperlukan dan tidak ada hadis yang menjelaskannya.

Metode Fatwa Ahmad bin Hanbal

Dalam memutuskan hukum, Imam Ahmad bin Hanbal mengikuti lima dasar utama:

  1. Nash al-Qur’an dan hadis marfu’: Ahmad selalu merujuk pada teks al-Qur’an dan hadis yang sahih. Ia tidak memperdulikan pendapat lainnya jika ada teks yang jelas.
  2. Fatwa para sahabat: Jika terdapat fatwa sahabat Nabi yang jelas dan tidak ada fatwa lain yang bertentangan, Ahmad akan mengikutinya.
  3. Pendapat yang lebih dekat dengan teks: Dalam perbedaan pendapat di kalangan sahabat, Ahmad memilih pendapat yang lebih sesuai dengan teks Al-Qur’an atau hadis.
  4. Hadits mursal dan hadits dha’if: Hadis dha’if dapat diterima jika tidak ada hadits lain yang lebih kuat dan tidak ada pendapat sahabat yang menentangnya.
  5. Qiyas: Digunakan hanya dalam kondisi ketika tidak ada dalil lain yang lebih kuat.

Jika dalil-dalil saling bertentangan, Ahmad lebih memilih untuk menunda keputusan atau menghindari fatwa jika tidak ada dasar yang jelas.

Karya-Karya Imam Ahmad bin Hanbal

Imam Ahmad bin Hanbal tidak banyak menulis secara langsung, namun karya-karyanya dihimpun oleh murid-muridnya, terutama putranya Abdullah. Karya-karya penting beliau meliputi:

  1. Musnad: Kumpulan 30.000 hadis yang disusun berdasarkan nama sahabat Nabi. Ahmad memerintahkan anaknya untuk menjaga kitab ini dengan baik karena diyakini akan menjadi panduan umat.
  2. Kitab at-Tafsīr: Berisi 120 ribu hadis
  3. Kitab as-Shalāt
  4. Ar-Radd ‘ala az-Zanādiqah
  5. Ar-Radd ‘ala al-Jahmiyyah
  6. Fadhāil as-Shohaabah
  7. al-Manāsik al-Kabīr
  8. al-Manāsik as-Shaghīr
  9. As-Sunan

Karya-karya Imam Ahmad bin Hanbal tidak hanya menjadi penjaga keaslian hadis-hadis Nabi, tetapi juga fondasi kuat bagi mazhab Hambali dalam fiqh Islam. Pemikiran-pemikirannya yang ditulis dan diwariskan oleh para muridnya, terutama Musnad, tetap menjadi rujukan utama dalam studi hadis dan fiqh hingga hari ini.

Akhir Hayat dan Warisan

Imam Ahmad bin Hanbal wafat pada tahun 241 H/855 M dan dimakamkan di Bab Harb, yang kini dikenal sebagai Al-Harbiyah di utara Baghdad. Jumlah orang yang mengantar jenazahnya diperkirakan mencapai 800.000, menunjukkan betapa dicintainya beliau oleh masyarakat. Pada tahun 1937, pusara Imam Ahmad dipindahkan ke Masjid ‘Arif Agha yang kemudian dikenal sebagai Masjid Ahmad bin Hanbal.

Imam Ahmad bin Hanbal meninggalkan warisan yang sangat berharga dalam dunia Islam. Beliau dikenal sebagai simbol keteguhan dalam mempertahankan prinsip dan kebenaran, serta sebagai teladan dalam keikhlasan, kesabaran, dan kejujuran. Testimoni dari ulama dan murid-muridnya menunjukkan betapa besar pengaruh dan kontribusi beliau terhadap perkembangan ilmu hadis dan fiqh dalam sejarah Islam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *