Bagi lulusan baru seperti saya, mencari ilmu adalah sebuah keharusan. Dan memokuskan serta menyelami lebih dalam suatu perkara atau soalan adalah hal yang dituntut. Jika hasilnya tidak tercapai-mencapai kedalaman paham-setidaknya kincir-kincir otak masih berputar. Saya lakukan itu dengan ikhlas dan tanpa mengharap lebih, karena hasil adalah kuasa Tuhan. Dan sebagai seorang sarjana hadis yang masih mentah dan muda, saya mulai menyempitkan kajian terhadap hadis secara mendalam, melalui pintu bernama Living Hadis.
1. Dari Teks ke Praktik Sosial
Living Hadis adalah sebuah fenomena di mana teks-teks hadis, yang pada awalnya hanya berupa kalimat yang terjaga dalam ingatan dan catatan, menjelma menjadi praktik- praktik sosial yang hidup di tengah masyarakat. Ia bukan sekadar tulisan yang dibaca dengan bibir atau didengar dengan telinga, melainkan menjadi pengalaman nyata yang dijalankan dalam kehidupan sehari-hari. Dari tradisi Maulid Nabi hingga sedekah Jumat, dari puasa Senin-Kamis yang berubah menjadi laku mistik hingga doa-doa yang dirapal dengan keyakinan akan keberkahan, mempertontonkan bahwa Living Hadis adalah wajah dinamis dari ajaran agama yang terus bergerak dan berkembang. Namun, di balik keluwesan ini, tersimpan sebuah pertanyaan mendasar: apakah yang hidup ini masih setia pada makna teks, atau justru telah melenceng menjadi sekadar tradisi tanpa ruh-cocoklogi?
2. Ketegangan antara Makna Normatif dan Tradisi Lokal
Ketegangan antara teks dan tradisi dalam Living Hadis bukan sekadar soal bagaimana hadis dipraktikkan, tetapi lebih dalam dari itu: soal bagaimana makna diinterpretasikan dan diwariskan. Pada tataran normatif, hadis memiliki standar otoritatif berupa sanad dan matan. Sanad menjamin keaslian jalur periwayatan, sementara matan adalah isi pesan yang menjadi rujukan. Tetapi ketika Living Hadis menjadi bagian dari metode untuk melihat dan mencari hadis yang hidup-dalam artian lebih lanjut adalah makna hadis-kedua aspek ini sering kali memudar. Hadis yang seharusnya dipahami dalam konteks pesan moral atau hukum, berubah menjadi ritual yang dijalankan bahkan tanpa dasar pemahaman. Hatta, pada akhirnya praktik Puasa Senin-Kamis bukan lagi soal mendekatkan diri kepada Allah, tetapi menjadi syarat untuk keberkahan, untuk kekuatan mistik, atau bahkan untuk tujuan duniawi.
Dalam buku Living Hadis: Praktik, Resepsi, Teks, dan Transmisi karya Saifuddin Zuhri Qudsy dan Subkhani Kusuma Dewi, Living Hadis digambarkan sebagai fenomena yang kaya dan beragam. Penulisnya menampilkan berbagai bentuk praktik Living Hadis yang hidup dalam masyarakat, merayakan keberagaman dan mengarisbawahi bahwa Living Hadis tidak mempertanyakan otentisitas landasan praktik-hadis. Namun, di sinilah letak persoalan. Ketika sebuah praktik dianggap Living Hadis hanya karena memiliki aroma agama, tanpa memeriksa kesesuaiannya dengan makna (tekstual) asli teks hadis, kita berada pada wilayah yang rentan. Atau itukah makna dalam pengertian Living Hadis?
3. Pendekatan Interdisipliner dalam Kajian Living Hadis
Pendekatan Living Hadis sebenarnya adalah upaya untuk melihat bagaimana hadis tidak hanya berdiam sebagai teks statis, tetapi hidup dan berkembang dalam masyarakat. Living Hadis adalah sebuah pendekatan yang menggunakan perspektif sosiologi dan antropologi untuk menelusuri bagaimana hadis dihidupkan dalam laku harian, tradisi, ritual, bahkan narasi masyarakat. Dalam pendekatan ini, hadis dipahami bukan semata sebagai kata- kata Nabi yang terbatas pada teks tertulis, tetapi sebagai praktik-praktik yang terus berlangsung, diwariskan, dan dimaknai ulang oleh komunitas. Misalnya, hadis tentang sedekah, yang dalam teks normatif hanya berbicara tentang anjuran memberi, dalam Living Hadis dapat berubah menjadi tradisi berbagi makanan setiap Jumat atau praktik sedekah massal dalam perayaan Maulid Nabi.
Lebih jauh, Living Hadis bukan hanya tentang apa yang dilakukan masyarakat (sosiologi), tetapi juga tentang bagaimana mereka memahami dan memberikan makna pada praktik tersebut (antropologi). Di sini, pendekatan etnografi menjadi relevan, karena ia memungkinkan peneliti untuk menggali pengalaman, keyakinan, dan narasi yang melingkupi praktik Living Hadis. Melalui observasi dan wawancara, seorang peneliti dapat melihat bagaimana hadis dipahami bukan hanya sebagai hukum atau doktrin, tetapi sebagai landasan dan bagian dari identitas budaya. Misalnya, praktik doa bersama sebelum memulai pekerjaan bukan hanya dipahami sebagai ibadah, tetapi sebagai bentuk solidaritas dan pengikat sosial antar anggota komunitas.
Begitu juga dengan hermeneutika yang kemudian menjadi alat penting dalam kajian Living Hadis, terutama dalam memahami bagaimana teks hadis diinterpretasikan dan diterjemahkan dalam praktik. Dalam konteks ini, makna hadis tidak lagi bersifat tetap, tetapi dinamis dan kontekstual. Hermeneutika memungkinkan kita melihat bagaimana teks hadis berinteraksi dengan pengalaman historis dan sosial masyarakat. Sebagai contoh, hadis tentang pentingnya mencari ilmu dapat diinterpretasikan dalam konteks masyarakat pedesaan sebagai dorongan untuk mengadakan pengajian atau mendirikan sekolah agama. Di sinilah Living Hadis menjadi medan kontestasi makna, di mana teks hadis tidak hanya dipahami secara literal, tetapi dimaknai ulang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai komunitas. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, etnografi, dan hermeneutika, kajian Living Hadis tidak hanya terbatas pada teks, tetapi meluas hingga pada bagaimana teks tersebut dihidupkan dan dipraktikkan. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk memahami Living Hadis sebagai fenomena kompleks yang melibatkan banyak dimensi: nilai-nilai agama, budaya lokal, narasi sejarah, hingga kepentingan sosial dan politik. Melalui perspektif ini, Living Hadis tidak hanya dipandang sebagai praktik keagamaan, tetapi juga sebagai cermin dari dinamika masyarakat yang terus berkembang.
4. Merayakan atau Mengkritisi? Menjaga Spirit di Tengah Pergeseran
Namun, kekayaan makna yang hadir melalui Living Hadis ini bukan tanpa risiko. Ketika hadis mengalami proses pemaknaan yang begitu fleksibel dan kontekstual, pergeseran makna tak terhindarkan. Teks hadis yang awalnya memiliki pesan normatif seringkali ditafsirkan ulang sesuai dengan nilai, kepercayaan, atau kepentingan masyarakat setempat. Pergeseran ini terjadi bukan hanya karena interpretasi, tetapi juga karena perubahan sosial, pengaruh budaya lokal, dan kepentingan tertentu yang mengaburkan makna aslinya. Di sinilah muncul tantangan besar: bagaimana memastikan bahwa Living Hadis tetap setia pada spirit teks normatifnya, tanpa kehilangan makna esensial di tengah pergeseran dan penyesuaian yang terjadi.
Pergeseran makna ini bukanlah fenomena yang terjadi tanpa sebab. Ada banyak faktor yang mempengaruhi, mulai dari akulturasi budaya lokal yang menyerap ajaran agama dan mengubahnya sesuai dengan nilai-nilai daerah, hingga otoritas agama setempat yang menjadi penafsir tunggal makna hadis. Dalam masyarakat yang minim pemahaman terhadap teks,
Living Hadis menjadi ruang kontestasi makna, di mana suara tradisi lebih dominan daripada pesan normatif. Bahkan, pengaruh ekonomi dan politik dapat menjadi pendorong pergeseran ini, ketika ritual dan tradisi Living Hadis dijadikan komoditas, dipromosikan sebagai bagian dari wisata religi, atau dijadikan alat legitimasi kekuasaan.
Membaca Living Hadis adalah membaca masyarakat. Ia adalah cermin dari cara sebuah komunitas memahami, mewariskan, dan mempraktikkan agama. Namun, meraba makna Living Hadis bukanlah perkara sederhana. Ia membutuhkan keberanian untuk mempertanyakan, kebijaksanaan untuk memilah, dan keteguhan untuk menjaga otentisitas makna. Dalam ketegangan antara teks dan tradisi, antara normatif dan praktis, kita dihadapkan pada sebuah pilihan: apakah akan merayakan Living Hadis sebagai bukti bahwa agama selalu hidup, atau mengkritisinya sebagai bentuk distorsi yang menyamarkan makna asli?