Memaknai Ibadah Idul Adha: Spirit Membangun Ketakwaan, Sosial, dan Kualitas Diri

Hadi Wiryawan

Di dalam kalender Islam, umat Islam memiliki hari keistimewaan pada bulan-bulan tertentu. Yakni, salah satunya adalah hari raya Idul Adha atau hari besar kedua bagi umat Islam setelah hari raya Idul Fitri. Hari raya Idul Adha jatuh setiap tanggal 10 Dzulhijjah menurut kalender Hijriah atau 70 hari setelah hari raya Idul Fitri.

Sama halnya dengan hari raya Idul Fitri, pada hari raya Idul Adha umat Islam berkumpul untuk melaksanakan salat ‘Id bersama-sama di masjid atau di tanah lapang. Kemudian setelah melaksanakan salat, selanjutnya mereka melaksanakan penyembelihan hewan kurban. Sepertiga daging hewan dikonsumsi oleh keluarga yang berkurban, sementara sisanya disedekahkan atau dibagikan kepada orang lain.

Terkadang Idul Adha juga disebut pula sebagai hari “Idul Qurban” atau Lebaran Haji karena pada hari itu merupakan puncak ibadah haji, dimana jutaan umat Islam dari seluruh dunia berkumpul di Mekkah untuk melakukan serangkaian ibadah yang menjadi rukun Islam kelima ini.

Jika ditelisik kembali makna kurban sesungguhnya mengandung makna yang mendalam. Kata kurban berasal dari bahasa Arab, yaitu qaruba (qaf, ra’, dan ba’) yang berarti dekat. Penambahan “an” pada akhir kata memberikan makna hampir dekat, lebih dekat, sangat dekat. Maka dari itu, hewan yang kita sembelih diniatkan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wata’ala karena dari kurban seseorang akan diuji benar atau tidaknya bukti iman dan keikhlasan seseorang.

Sejarah mencatat bahwa syariat kurban pertama kali terjadi pada masa kenabian Ibrahim ‘Alaihissalam dimana pada saat itu nabi Ibrahim menerima perintah untuk mengorbankan putra kesayangannya melalui mimpinya yang terus berulang. Ibrahim tahu bahwa ini adalah perintah dari Allah dan dia memberi tahu putranya, seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْىَ قَالَ يَٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. (QS. as-Saffat [37]: 102)

Selama masa persiapan, setan menggoda Ibrahim dan keluarganya dengan mencoba menghalangi mereka untuk melaksanakan perintah Allah. Ibrahim kemudian mengusir setan dengan melemparkan kerikil ke arahnya. Untuk memperingati penolakan mereka terhadap setan, batu-batu dilemparkan dalam lontar jumrah dalam ibadah haji.

Ketika melaksanakan penyembelihan, pisau Ibrahim tidak dapat melukai Ismail. Allah kemudian mengganti Ismail dengan seekor hewan sembelihan.

فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ , وَنَٰدَيْنَٰهُ أَن يَٰٓإِبْرَٰهِيمُ , قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ , إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ , وَفَدَيْنَٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ

“Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah), lalu kami panggil dia, “wahai Ibrahim!, Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu, Sungguh demikianlah kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sungguh ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan untuk itu kami terbus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. As-Saffat: 103-107)

Hikmah dari ujian Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya adalah keikhlasan dalam menjalankan perintah Allah. Keikhlasan menjadi salah satu kunci untuk memperoleh ridha Allah dengan menjalankan apa yang menjadi perintah-Nya serta menjauhi apa yang dilarang-Nya. Jika kita melaksanakan ibadah tanpa didasari oleh keikhlasan maka niscaya yang kita lakukan akan menjadi sebuah kesia-siaan belaka. Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya.


 إِنَّ اللَّهَ لا يَقْبَلُ مِنْ الْعَمَلِ إِلا مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ 

Artinya, “Allah tidak menerima amal, kecuali amal (ibadah) yang dilandasi keikhlasan dan karena mencari keridhaan Allaht”. (HR. Nasa’i).

 Baca Juga: Khadijah: Sosok Teladan Perempuan Ahli Surga

Berkurban berarti memberikan sesuatu yang yang terbaik kepada Yang Maha Baik.  Atau dalam bahasa Arab disebut dengan Ahsana–yuhsinu, perbuatannya disebut dengna ihsan; sedangkan orang yang melakukannya disebut dengan muhsin, jika banyak menjadi muhsinun. Sedang Allah sendiri mencintai orang-orang yang berbuat baik.

Keimanan pada tingkat ihsan ini akan mengantarkan kita kepada kepasrahan total kepada Allah Subhanahu wata’ala. Keadaan ini dicontohkan dengan kisah Nabi Ibrahim dan keluarga yang kemudian menjadi syariat Haji dan kurban bagi kita umat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam saat ini. 

Hikmah dalam Pelaksanaan Kurban Hari Idul Adha

Jika kita sadari, secara tidak langsung peristiwa besar yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut dimaknai sebagai pesan simbolik agama yang sudah pasti mengandung banyak pelajaran yang amat berharga ataupun menjadi inspirasi bagi kita semua, di antarannya yakni:

  1. Bukti Kemurnian Cinta Pada Tuhan (Membangun Hubungan kepada Allah)

Kisah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sebagai latar belakang perayaan Hari Raya Idul Adha merupakan gambaran bagaimana bentuk ketakwaan sejati seorang hamba kepada Sang Penciptanya.

Drama perintah Allah pada Ibrahim untuk menyembelih Ismail (versi iman atau keyakinan Kristen adalah Ishak), sesungguhnya mengungkapkan pesan yang amat dalam bahwa manusia boleh saja mencintai dunia (disimbolkan pada anak), tetapi jangan sampai cinta dunia ini memalingkan seseorang dari cintanya pada Tuhan, pemilik alam semesta.

Jika Allah memang menghendaki, anak yang menjadi pujaan hati itu oleh Ibrahim siap untuk disembelih. Terbukti bahwa cinta Ibrahim pada Tuhannya melebihi cintanya pada kenikmatan duniawi, dan ternyata di dalam dada Ibrahim tak ada yang dipertuhankan kecuali Allah semata, maka Allah akhirnya memberikan pada Ibrahim kenikmatan berlipat ganda.

Ismail bukannya disembelih, melainkan digantikan dengan kambing atau domba dan dari keturunan Ismail dan Ishak itu lahir sekian banyak pemimpin dunia pengubah sejarah, termasuk Nabi Musa., Nabi Isa., dan Nabi Muhammad Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Bentuk Kesadaran Sosial ( Membangun Hubungan kepada Sesama Manusia)

Perayaan Idul Adha menunjukkan kesadaran sosial, dalam hal ini dapat dilihat melalui proses dari penyembelihan hewan kurban yang dilakukan secara bergotong royong. Kemudian setelah hewan kurban disayat-sayat dagingnya maka kemudian daging-daging tersebut dibagi-bagikan kepada para fakir miskin, tetangga dekat, dan yang membutuhkan.

Syariat kurban ini memberikan pelajaran kepada kita untuk mengedapankan solidaritas dan kepedulian seorang muslim terhadap sesamanya. Dimana kaum dhuafa dapat teringankan beban untuk memenuhi urusan perutnya dan bahkan dengan begitu mereka pun bisa ikut bergembira merasakan hari raya kurban, hari raya makan. Ini menunjukkan bahwa agama Islam mengajarkan kepada kita sebagai seorang muslim untuk selalu saling tolong menolong.

3.      Peningkatan Kualitas Diri (Membangun Pribadi)

Penyembelihan hewan kurban tidak hanya dipahami sebagai penyembelihan saja, bahkan lebih daripada itu jika kita sadari dan lebih jeli lagi sebenarnya di momen Idul Adha ini kita diajarkan untuk menyembelih sifat buruk kita, menyembelih sifat hewani kita, sifat kufur, sifat sombong, pelit, tamak dan rakus.

Sebaliknya, momen perayaan Idul Adha ini mengajarkan kepada kita untuk lebih menyadari bahwa segala hal yang ada di dunia ini, semua hal yang kita miliki, itu semua hanyalah titipan semata dari Allah Subhanahu wata’ala. Segala nikmat yang Allah berikan kepada kita patut kita hargai, kita syukuri, dan kita gunakan untuk kebaikan.

Dengan demikian, menghargai nikmat Allah serta memahami esensi diri merupakan aspek penting dalam perayaan Idul Adha yang kemudian berimplikasi besar dalam kehiduan kita. Dengan kita bisa memahami itu semua, maka dengan itu kita bisa menjadi insan kamil, menjadi manusia yang selalu bertaubat dan mensucikan diri, serta menjadi manusia yang seutuhnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *