ulumulhadis.id – Setiap Muslim pasti akrab dengan istilah Al-Qur’an, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi. Ketiganya merupakan bagian penting dari ajaran Islam yang membimbing kehidupan umat manusia. Namun, tidak jarang pemahaman tentang perbedaan ketiganya masih kabur, sehingga dapat menimbulkan kekeliruan dalam pengamalan syariat.
Artikel ini hadir untuk menjelaskan dengan rinci perbedaan antara Al-Qur’an, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi. Dengan memahami karakteristik unik masing-masing, kita dapat menempatkan setiap sumber ajaran ini sesuai dengan kedudukannya. Penjelasan akan dilengkapi dengan definisi, contoh-contoh konkret, serta pembahasan mendalam agar memberikan wawasan yang lebih kaya.
1. Hadis Qudsi: Firman Allah dengan Redaksi Nabi
Hadis jika dilihat dari sandarannya terbagi menjadi dua; pertama, yang disandarkan kepada Nabi sendiri disebut Hadis Nabawi. Kedua, yakni hadis yang disandarkan kepada Tuhan disebut Hadis Qudsi. Hadis qudsi perlu dimunculkan karena banyak sekali masyarakat yang belum mengerti statusnya. Pada umumnya mereka terjebak pada kata qudsi yang berarti suci. Mereka menduga bahwa hadis qudsi itu adalah hadis yang pasti shahih karena namanya sendiri “suci”. Agar kita tidak salah kaprah, mari kita kaji pengertiannya terlebih dahulu.
Baca Juga: Mengenal Ilmu Thabaqat al-Ruwah dalam Ilmu Hadis
Hadis qudsi sering juga disebut dengan hadis ilahi dan hadis rabbani. Dinamakan qudsi (suci), ilahi (tuhan), rabbani (ketuhanan) karena ia bersumber dari Allah yang Maha Quddus (suci) dan dinamakan hadis karena Nabi yang memberitakannya yang didasarkan wahyu Allah. Kata qudsi sekalipun diartikan suci, hanya merupakan sifat bagi hadis, sandaran kepada Tuhan tidak berarti menunjukkan kualitas hadis. Oleh karena itu, tidak semua hadis qudsi itu shahih, walaupun ada yang memang shahih, tetapi ada juga yang hasan, dan bahkan ada juga yang dha’if karena kualitas hadis tergantung dari persyaratan periwayatan yang dipenuhinya.
Definisi hadis qudsi adalah:
كُلُّ حَدِيْثٍ يُضِيْفُ فِيْهِ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Setiap hadis dalam bentuk pekataan yang disandarkan Rasulullah kepada Allah Azza wajalla.”
Definisi ini menjelaskan bahwa Nabi hanya menceritakan berita yang disandarkan kepada Allah, bentuk berita yang disampaikan hanya perkataan, bukan perbuatan (fi’li) ataupun persetujuan (taqrir) sebagaimana hadis nabi yang biasa.
Sebagai contoh:
“Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau meriwayatkan dari Allah ‘azza wa Jalla, sesungguhnya Allah telah berfirman:”
يا عِبَادِى إِنِْى حَرَّمْتُ الظُْلْمَ عَلَى نَفْسِى وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلَا تَظَالَمُوا
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku jadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Muslim).
Karakteristik Hadis Qudsi
- Makna dari Allah, Redaksi dari Nabi: Dalam Hadis Qudsi, Allah adalah sumber makna, sedangkan Nabi Muhammad ﷺ menyusun redaksinya.
- Tidak Dibaca dalam Salat: Berbeda dengan Al-Qur’an, Hadis Qudsi tidak dibaca dalam salat, karena tidak bersifat mutlak seperti wahyu Al-Qur’an.
- Jumlah Relatif Sedikit: Hadis Qudsi hanya berjumlah beberapa ratus, berbeda dengan ribuan hadis Nabawi atau ayat Al-Qur’an.
- Kedudukan Hukum: Hadis Qudsi berfungsi sebagai pelengkap syariat dan pengingat keagungan Allah, tetapi tidak dijadikan dasar hukum seperti layaknya Al-Qur’an.
2. Hadis Nabawi: Sabda dan Perbuatan Rasulullah
Hadis Nabawi adalah segala ucapan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Muhammad ﷺ yang menjadi sumber ajaran Islam. Dalam bahasa Arab, hadis Nabawi didefinisikan sebagai:
الْحَدِيثُ النَّبَوِيُّ هُوَ مَا صَدَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الْقَوْلِ أَوِ الْفِعْلِ أَوِ التَّقْرِيرِ.
“Hadis Nabawi adalah apa yang disandarkan kepada Nabi baik dari segi perkataan, perbuatan, atau persetujuannya.”
Ada juga di antara para ulama yang memasukkan definisi hadis sifat (washfi), sejarah (tarikhi), dan cita-cita (hammi). Hadis sifat di sini baik yang bersifat fisik (khalqiyah) seperti tinggi badan beliau yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, berwajah tampan, kulit putih kemerahan seperti bunga mawar putih, dan lain-lain. Ada juga sifat perangai mencakup akhlak (khuluqiyah), misalnya jujur, penyanyang terhadap fakir miskin, dan lain-lain.
Adapun hadis sejarah (tarikhi) yakni mencakup kisah perjalanan hidup beliau, apa saja yang telah beliau lalui, dan lain-lain. Kemudian hadis cita-cita (hammiyah) seperti ketika beliau berencana meskipun belum dilakukan yakni ketika beliau ingin berpuasa pada tanggal 9 Muharram, dan lain-lain.
Karakteristik Hadis Nabawi
- Redaksi dan Makna dari Nabi: Nabi Muhammad ﷺ sepenuhnya berperan dalam menentukan makna dan redaksi hadis ini.
- Fungsi Penjelas Al-Qur’an: Hadis Nabawi menjelaskan dan memperinci hukum-hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Contohnya, Al-Qur’an memerintahkan salat tetapi tidak menjelaskan tata caranya. Nabi Muhammad ﷺ-lah yang mengajarkan bagaimana salat dilakukan.
- Bukan Mukjizat dalam Bahasa: Meskipun redaksi hadis Nabawi sangat indah, ia tidak setara dengan Al-Qur’an dari segi keistimewaan bahasa.
- Jumlah Hadis: Hadis Nabawi berjumlah ribuan bahkan ratusan ribu, mencakup berbagai aspek kehidupan mulai dari ibadah hingga muamalah.
- Kedudukan Hukum: Hadis Nabawi menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Ia digunakan untuk menjelaskan dan memperinci ajaran-ajaran Al-Qur’an.
Contoh Hadis Nabawi:
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis tentang niat ini termasuk Hadis Nabawi karena makna dan redaksinya berasal dari Nabi Muhammad ﷺ, tanpa adanya sandaran kepada Allah seperti yang terdapat dalam Hadis Qudsi. Hadis ini juga tidak diawali dengan frasa seperti “Rasulullah meriwayatkan dari Rabb-nya” atau “Allah berfirman” yang menjadi ciri khas Hadis Qudsi. Selain itu, fungsinya sebagai panduan syariat dalam menjelaskan pentingnya niat dalam setiap amal adalah karakteristik utama dari Hadis Nabawi.
3. Al-Qur’an: Wahyu Allah yang Paling Tinggi
Secara etimologi, istilah Al-Qur’an berasal dari kata kerja qara’a (قَرَأَ) yang berarti “membaca” atau “mengumpulkan.” Dalam Al-Qur’an sendiri, kata ini digunakan dalam makna sebagai bacaan ilahi yang tertata rapi, seperti dalam firman Allah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ
“Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya dan membacakannya (Al-Qur’an).” (QS. Al-Qiyamah: 17)
Dari akar katanya, Al-Qur’an menunjukkan makna “bacaan yang sering diulang” atau “bacaan yang mulia.” Hal ini mengisyaratkan fungsi Al-Qur’an sebagai bacaan yang terus-menerus dipelajari dan diamalkan oleh umat Islam.
Dalam terminologi Islam, Al-Qur’an didefinisikan sebagai:
الْقُرْآنُ هُوَ كَلَامُ اللَّهِ الْمُنَزَّلُ عَلَى النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ، الْمُتَعَبَّدُ بِتِلَاوَتِهِ، وَالْمَكْتُوبُ فِي الْمَصَاحِفِ.
” Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui malaikat Jibril dalam bahasa Arab, sebagai mukjizat, dan membacanya merupakan ibadah.”
Definisi ini mencakup beberapa poin penting:
- Kalam Allah: Al-Qur’an adalah firman Allah yang mutlak, bukan sabda nabi, bukan perkataan manusia, dan bukan pula perkataan malaikat.
- Diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ: Membatasi bahwa Al-Qur’an hanya berkaitan dengan syariat Islam, tidak termasuk kitab-kitab sebelumnya.
- Melalui Jibril: Menegaskan bahwa wahyu ini disampaikan oleh malaikat terpercaya.
- Ditulis dalam mushaf: Menegaskan bahwa Al-Qur’an terdokumentasi secara fisik untuk menjaga keautentikannya.
- Mutawatir: Membuktikan bahwa Al-Qur’an sampai kepada kita melalui jalur periwayatan yang sangat banyak dan mustahil disepakati atas kebohongan.
- Sebagai petunjuk: Al-Qur’an berfungsi sebagai pedoman hidup umat manusia, baik dalam aspek spiritual, sosial, maupun individual.
- Keistimewaan Bahasa: Al-Qur’an menggunakan bahasa Arab yang sangat fasih dan indah, sehingga menjadi mukjizat dalam aspek linguistiknya. Para ahli bahasa sepanjang zaman tidak mampu menandinginya.
- Ibadah Membacanya: Membaca Al-Qur’an adalah ibadah yang diberi pahala, bahkan untuk setiap huruf yang dibaca. Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat.” (HR. Tirmidzi).
- Mukjizat: Tidak ada satu pun makhluk yang dapat menandingi keindahan bahasa, struktur, dan isi kandungannya. Hal ini dinyatakan dalam firman Allah:
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Jika kalian ragu terhadap apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah yang semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar..” (QS. Al-Baqarah: 23)
Di ayat lain juga disebutkan:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“ Katakanlah: “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Quran ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain” (QS. Al-Isra: 88).
- Terpelihara dari perubahan: Allah berjanji untuk menjaga Al-Qur’an dari perubahan dan penyelewengan:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami pula yang memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
- Universal: Al-Qur’an tidak terbatas pada kaum atau masa tertentu, melainkan sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia hingga akhir zaman.
Perbandingan Ketiganya
Aspek | Al-Qur’an | Hadis Qudsi | Hadis Nabawi |
Sumber Makna | Allah | Allah | Nabi Muhammad ﷺ |
Sumber Redaksi | Allah | Nabi Muhammad ﷺ | Nabi Muhammad ﷺ |
Kedudukan | Sumber utama hukum | Hukum tambahan dan pelengkap | Penjelas hukum dan syariat |
Mukjizat Bahasa | Ya | Tidak | Tidak |
Dibaca dalam Salat | Ya | Tidak | Tidak |
Fungsi Utama | Pedoman utama kehidupan | Pesan spiritual dan pengingat | Penjelas dan pelengkap Al-Qur’an |
Jumlah | 6236 ayat | Beberapa ratus | Ribuan hadis bahkan ratusan ribu |
Keautentikan | Terjamin mutawatir dan sahih | Bisa sahih, hasan, atau dhaif | Bisa sahih, hasan, atau dhaif |
Isi | Hukum, akhlak, ibadah, sejarah, doa | Kasih sayang Allah, ancaman, janji surga | Penjelasan syariat, akhlak, muamalah |
Tingkat Kesucian | Mutlak suci | Bersifat suci tetapi kualitas tergantung sanad | Tergantung sanad |
Akhir Kata
Setelah memahami perbedaan mendasar antara Al-Qur’an, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi, terlihat jelas bagaimana ketiganya memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan seorang Muslim. Al-Qur’an, dengan kedudukannya sebagai wahyu tertinggi, adalah pedoman utama yang memuat segala prinsip kehidupan. Hadis Qudsi, meskipun bukan menjadi dasar hukum, tetapi ianya mengajarkan nilai-nilai spiritual dan memperkuat kesadaran akan kebesaran Allah. Sementara itu, Hadis Nabawi memberikan penjelasan praktis dan contoh nyata dalam mengamalkan ajaran Islam.
Memahami perbedaan ini sangat penting agar seorang Muslim tidak keliru dalam memahami kedudukan dan fungsi masing-masing. Kesalahan dalam membedakan ketiganya dapat berdampak pada cara kita menjalankan syariat dan mengamalkan ajaran agama.
Dengan memahami dan mengamalkan ketiga sumber ini, seorang Muslim tidak hanya dapat menjalankan syariat dengan baik tetapi juga memperkuat hubungan spiritualnya dengan Allah dan Rasul-Nya. Semoga pemahaman ini menambah kecintaan kita kepada ajaran Islam dan memperdalam pengamalan kita dalam kehidupan sehari-hari.
Aamiin ya Rabbal ‘Alamiinn..