Mengenal Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dalam Ilmu Hadis

Hadi Wiryawan

Apa Itu Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil?

Bayangkan kamu sedang membaca sebuah novel misteri. Setiap karakter dalam cerita memiliki latar belakang dan kepribadian yang mempengaruhi alur cerita. Nah, begitu pula dalam ilmu hadis, ilmu Jarh wa Ta’dil berfungsi seperti detektif yang menyelidiki karakter para periwayat hadis. Ilmu ini bertujuan untuk menentukan apakah seorang periwayat hadis memenuhi kriteria tertentu yang membuat hadisnya dapat diterima atau justru ditolak.

Ilmu Jarh wa Ta’dil merupakan salah satu cabang penting dalam studi hadis. Disiplin ini memiliki peran krusial dalam menilai kredibilitas perawi hadis, sehingga membantu memastikan keaslian dan keabsahan hadis-hadis yang diriwayatkan.

Artikel ini akan mengulas pengertian dan signifikansi Ilmu Jarh wa Ta’dil dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya kajian yang berpusat pada kajian hadis. Pembahasan akan mencakup definisi, dan istilah-istilah umum dalam penilaian jarh wa ta’dil, berikut ulasannya:

Pengertian al-Jarh

al-Jarh secara bahasa (جَرْحٌ) merupakan isim masdar dari kata ja-ra-ha , yaj-ra-hu (جَرَحَ) yang memiliki beberapa arti melukai, baik luka yang berkenan dengan fisik maupun non fisik. Dalam terminologi ilmu hadis, jarh merujuk pada kritik terhadap keadilan atau keakuratan seorang perawi hadis. Seorang perawi yang dikritik disebut “majruh“, yang berarti hadis yang diriwayatkannya tidak dapat diterima.

Pengertian al-Ta’dil

Sebaliknya, al-Ta’dil merupakan isim masdar dari kata ‘addala-yu’addilu yang berarti mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Adil dalam arti di sini bukan adil secara hukum matematis yang berarti membagi sesuatu sama rata, melainkan adil dalam terminologi hadis yakni sifat seseorang yang menunjukkan bahwa orang tersebut benar-benar orang salih, baik, tidak pernah melakukan dosa besar, dan tidak sering melakukan dosa kecil serta mereka mempunyai hafalan atau ingatan yang kuat sehingga apabila mereka meriwayatkan hadis, maka hadis tersebut dapat diterima karena mereka dapat diandalkan baik dari segi kesalehannya dan kejujurannya (adl) maupun keakuratannya hafalannya (dhabit).

Dr. Ajjaj Al-Khatib dalam Ushul Al-Hadits mendefinisikan ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil sebagai:

علم الذي يبحث في أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أو ردها

Ilmu yang membahas seputar keadaan para perawi dari segi diterima atau ditolaknya periwayatan mereka.”

Jadi, mudahnya ilmu Jarh wa Ta’dil dapat dipahami sebagai ilmu yang merujuk pada penilaian dan kritik terhadap perawi hadis untuk memastikan keaslian dan keabsahan hadis yang mereka riwayatkan.

Memahami Dhabit dan ‘Adalah

Untuk lebih memahami ilmu Jarh wa Ta’dil, mari kita kenali dua istilah kunci: dhabit dan ‘adalah. Anggap saja dhabit sebagai kemampuan seorang karakter dalam novel untuk mengingat dan menceritakan detail cerita dengan akurat. Demikiannya juga dalam konteks hadis, dhabit mengacu pada kekuatan hafalan seorang periwayat.

Baca juga: Memahami Lebih Dalam Cabang-Cabang dalam Ilmu Hadis

Imam Ibn Shalah dalam Muqaddimah-nya menggambarkan periwayat dengan dhabit sebagai seseorang yang selalu waspada dan tidak mudah lupa, baik ketika meriwayatkan hadis dari hafalan maupun dari kitab catatannya. Ada dua tipe periwayat: yang pertama, mengandalkan hafalan yang kuat atau dhabit as-shadr; yang kedua, mengandalkan buku catatannya dengan menjaga agar catatannya tetap akurat, atau dhabit al-kitab.

Sedangkan ‘adalah berkaitan dengan integritas dan moralitas periwayat. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Nuzhah-nya mendefinisikan ‘adalah sebagai:

ملكة تحمل صاحبها على ملازمة التقوى والمروءة. والمراد بالتقوى: اجتناب الأعمال السيئة من شرك أو فسق أو بدعة

Kemampuan yang mendorong seseorang untuk senantiasa bertakwa dan menjaga harga diri (muru’ah). Yang dimaksud takwa adalah menjauhi perbuatan buruk seperti syirik, fasiq, dan bid’ah.

Mengapa Ilmu Jarh wa Ta’dil Penting?

Dalam dunia hadis, ilmu Jarh wa Ta’dil berfungsi sebagai alat ukur untuk menentukan kredibilitas hadis berdasarkan karakter periwayatnya. Namun, ada perdebatan mengenai apakah mengkritik periwayat termasuk dalam kategori ghibah (menggunjing), yang dilarang dalam Islam.

Para ulama menyatakan bahwa kritik terhadap periwayat hadis dalam konteks jarh bukanlah ghibah. Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, menjelaskan bahwa kritik terhadap periwayat adalah bentuk nasihat, bukan menggunjing. Abdullah bin al-Mubarak juga menegaskan bahwa menjelaskan kekurangan periwayat adalah penting untuk membedakan yang benar dan yang salah. Demikian pula Imam al-Nawawi menambahkan bahwa mengkritik periwayat dan saksi adalah bagian dari kewajiban untuk memastikan keabsahan informasi.

Dengan kata lain, ilmu Jarh wa Ta’dil adalah seperti kunci yang membuka pintu keaslian hadis. Ia memastikan bahwa setiap hadis yang diterima dan dipraktikkan adalah hasil dari penyampaian orang yang jujur dan dapat dipercaya. Melalui ilmu ini, kita tidak hanya menghargai warisan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi juga memdastikan bahwa ajaran beliau sampai kepada kita dengan keakuratan dan keotentikan yang tinggi.

Tingkatan Jarh wa Ta’dil

Karena tidak semua perawi berada pada tingkat ke’adilan dan kedhabitan yang sama, maka dalam melakukan tajrih dan ta’dil, para ulama muhaddisin pun pada realitasnya seringkali terjadi perbedaan pandangan antara satu kritikus dengan kritikus yang lain. Begitupula para ulama kritikus ini memiliki perbedaan dalam kaidah yang mereka pegang dalam men-jarh dan men-ta’dil. Terkadang dalam menilai seorang perawi, mereka seringkali menggunakan berbagai variasi lafadz dengan tingkatan-tingkatannya.

Untuk mengklasifikasi keberadaan perawi, para ulama muhaddisin mencoba meratifikasi perawi-perawi tersebut dalam beberapa tingkatan. Di kalangan para ulama hadis sebenarnya tidak ada kesepakatan tentang jumlah tingkatan al-jarh wa al-ta’dil. Adapun yang paling umum dikenal adalah sebagai berikut:

  1. Tingkatan Ta’dil:
    • Tingkat pertama menggunakan ungkapan superlatif seperti awtsaq an-nas (manusia paling tsiqah) atau puncak dari ke-tsiqah-an manusia.
    • Tingkat kedua dengan ungkapan pengulangan kata sifat atau penekanan pada kebaikan seperti tsiqahtu tsiqah yang berati orang yang sangat tsiqah.
    • Tingkat ketiga, ungkapan seperti tsiqah saja tanpa penambahan keterangan tambahan yang menunjukkan orang tersebut telah cukup tsiqah.
    • Tingkat keempat, menggunakan ungkapan shaduq yang berarti”jujur” atau “layak dipercaya.”
    • Tingkat kelima, terkadang menggunakan ungkapan mahalluhu al-shidq seperti “terhormat.”
    • Tingkat keenam, istilah seperti “hadisnya baik.”
  2. Tingkatan Jarh:
    • Tingkat pertama atau tingkatan paling berat menggunakan istilah akdzab an-nas menunjukkan bahwa orang tersebut merupakan orang paling pendusta.”
    • Tingkat kedua, atau satu level lebih ringan dibanding yang pertama, menggunakan istilah kadzab saja, menunjukkan bahwa orang tersebut telah terpenuhi kriteria sebagai pendusta.
    • Tingkat ketiga, menggunakan istilah mutham bil kadzib, menunjukkan bahwa orang tersebut dikenal sebagai seorang yang tertuduh pendusta.
    • Tingkat keempat, dha’if jiddan menujjukkan bahwa orang tersebut lemah sekali dari segi keadilan ataupun keakuratan hafalannya.
    • Tingkat kelima, atau yang paling ringan menggunakan istilah layyin yang berarti orang yang lunak hadisnya, atau laisa bil qowi  yang berarti bukan orang yang kuat keadilan dan hafalannya.

Sebenarnya, dalam tiap-tiap tingkatan terdapat banyak sekali penggunaan lafadz yang bervariasi, dan jika disertakan semuanya akan sangat banyak sekali. Hanya saja lafadz yang umumnya dikenal dan sering dipakai adalah lima atau enam tingkatan lafadz-lafadz tadi.

Untuk lebih lengkapnya nantinya akan penulis buatkan satu tulisan tersendiri mengenai tingkatan-tingkatan penggunaan lafadz jarh dan ta’dil dari masing-masing ulama hadis, serta kitab-kitab jarh wa ta’dil.

Penutup

Ilmu Jarh wa Ta’dil memainkan peran yang sangat penting dalam memastikan keotentikan hadis, memastikan bahwa setiap riwayat yang sampai kepada kita benar-benar berasal dari Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bukan hasil rekayasa. Meskipun mempelajari ilmu ini sering kali terasa membosankan karena fokus utamanya berkutat pada penilaian periwayat saja, bukannya pada matan hadis itu sendiri, namun perannya dalam menjaga kemurnian ajaran Islam sangatlah vital.

Tidak hanya itu, memahami ilmu Jarh wa Ta’dil tidak hanya sekadar untuk pengetahuan akademis, tetapi juga untuk penerapan yang praktis dalam kehidupan sehari-hari kita. Dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip dari ilmu ini, kita bisa menjadi lebih bijaksana dalam menyaring informasi dan memastikan bahwa ajaran yang kita terima dan sebarkan benar-benar berasal dari sumber yang sahih dan terpercaya.

Secara aplikatif, kita dapat mulai dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya kredibilitas dalam setiap sumber informasi yang kita terima. Dalam konteks komunitas, kita juga bisa mengedukasi diri sendiri dan orang lain tentang bagaimana menilai kualitas hadis, sehingga kita dapat menghindari penyebaran informasi yang tidak benar. Melalui pemahaman ini, kita berkontribusi pada pelestarian ajaran Islam yang murni dan meningkatkan integritas dalam setiap aspek kehidupan kita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *