Ilmu hadis bukan hanya sekadar menghafal dan memahami teks hadis, tetapi juga memerlukan kajian mendalam terhadap rantai periwayatannya. Salah satu cabang ilmu hadis yang sangat penting dalam hal ini adalah Ilmu Thabaqat al-Ruwah (علم طبقات الرواة). Ilmu ini mempelajari para perawi berdasarkan generasi mereka, sehingga memungkinkan kita untuk memahami kesinambungan rantai sanad dari Rasulullah ﷺ hingga kepada umat saat ini.
Definisi dan Tujuan Ilmu Thabaqat al-Ruwah
Secara etimologi, kata thabaqat (طبقات) berasal dari bahasa Arab yang berarti tingkatan atau kelompok yang memiliki keserupaan atau kesamaan tertentu. Sedangkan ruwah (رواة) adalah bentuk jamak dari rawi (راوي) yang berarti perawi atau orang yang meriwayatkan hadis.
Para ulama mendefinisikan ilmu ini sebagai:
عِلْمٌ يُبْحَثُ فِيْهِ عَنْ كُلِّ جَمَاعَةٍ تَشْتَرِكُ فِيْ أَمْرٍ وَاحِدٍ
“Ilmu yang membahas setiap kelompok yang memiliki kesamaan dalam satu aspek tertentu.”
Jadi, Thabaqat al-Ruwah adalah ilmu yang mempelajari tingkatan-tingkatan perawi hadis berdasarkan periode kesamaan waktu, kesamaan usia, kesamaan guru, atau kategori tertentu.
Tujuan utama dari mempelajari ilmu ini adalah memastikan keutuhan sanad hadis. Dengan mengetahui setiap lapisan perawi, kita bisa menentukan apakah sanad tersebut bersambung (muttashil) atau terputus (mursal), serta menilai kredibilitas para perawinya. Rasulullah ﷺ sendiri pernah bersabda:
“نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا شَيْئًا فَبَلَّغَهُ كَمَا سَمِعَهُ، فَرُبَّ مُبَلَّغٍ أَوْعَى مِنْ سَامِعٍ.”
“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar sesuatu dari kami lalu menyampaikannya sebagaimana ia mendengarnya, karena bisa jadi orang yang disampaikan lebih paham daripada yang mendengar langsung.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Hadis ini menunjukkan pentingnya keakuratan penyampaian hadis, yang hanya bisa dijamin melalui rantai perawi yang terverifikasi.
Pembagian Tingkatan-tingkatan Thabaqat al-Ruwah
Para ulama membagi perawi hadis ke dalam tingkatan-tingkatan atau thabaqat tertentu. Demikian lahnya asal mula pembagian periwayat berdasarkan tabaqah/tingkatan ini adalah berdasar dari tuntunan Islam itu sendiri, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ:
خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِى ثُمِّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ
“Sebaik-baik generasi ialah generasiku, kemudian generasi yang mengikutinya, dan lalu generasi yang mengikutinya lagi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Pembagian ini bervariasi antara satu ulama dengan ulama lainnya. Salah satu pembagian yang populer adalah dari Ibnu Hajar al-Asqalani yang membagi perawi menjadi 12 tingkatan. Berikut ini penjelasan dari beberapa tingkatan utama:
- Thabaqah Pertama: Generasi Sahabat (الصحابة)
Generasi pertama dalam ilmu Thabaqat al-Ruwah adalah para sahabat. Istilah sahabat merujuk pada orang yang bertemu Rasulullah ﷺ sebagai Muslim dan wafat dalam keadaan Islam. Para sahabat dipandang adil oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah karena keutamaan mereka telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَالسَّابِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah…” (QS. At-Taubah: 100)
Jumlah sahabat diperkirakan mencapai lebih dari 100.000 orang. Namun, ulama berbeda pendapat dalam membagi tingkatannya. Salah satu klasifikasi yang terkenal adalah pembagian Al-Hakim dan Ibnu Sa’ad yang membaginya menjadi 12 tingkatan, mulai dari sahabat yang pertama masuk Islam hingga anak-anak yang sempat melihat Rasulullah ﷺ pada Haji Wada’.
- Thabaqah Kedua: Tabi’in Kibar (Senior)
Tabi’in adalah mereka yang bertemu dengan para sahabat tetapi tidak bertemu langsung dengan Rasulullah ﷺ. Mereka mempelajari Islam dari sahabat dan meneruskan ajaran tersebut. Di antara mereka seperti: Alqamah (w. 61 H), Masruq (w. 63 H), al-Aswad bin Yazid al-Nakha’i (w. 74 H), Abu Wail al-Kufi (w. 82 H), Abdurrahman bin Abi Laila (w. 83 H), Atta’ bin Yasar (w. 94 H), Sa’id bin al-Musayyib (w. 94 H).
- Thabaqah Ketiga: Tabi’in Ausath (Pertengahan)
Thabaqah ketiga ialah thabaqah tabi’in pertengahan, adalah kelompok tabi’in yang hidup di antara tabi’in senior (kibar) dan tabi’in yunior (sighar). Mereka berperan sebagai jembatan antara generasi awal tabi’in yang memiliki kedekatan dengan sahabat dan generasi tabi’in yunior yang mulai banyak belajar dari sesama tabi’in. Di antara mereka yakni: Urwah bin Zubair (w. 94 H), Abu Salamah bin ‘Abdurrahman bin Auf (w. 94 H), Ubaidullah ‘Abdillah bin ‘Utbah (w. 94 H), Zakwan al-Madani (w.101 H), Ikrimah (w. 104 H), Mujahid (w. 104 H), Hasan al-Basri (w. 110 H), Muhammad bin Sirin (w. 110 H), Nafi’ (w. 117 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Keempat: Tabi’in Sighar (Yunior)
Tabi’in Sighar adalah kelompok tabi’in yang hidup di masa sahabat terakhir tetapi tidak banyak bertemu atau meriwayatkan hadis langsung dari sahabat senior. Mereka lebih sering mengambil hadis dari tabi’in senior atau pertengahan. Di antara mereka yakni: Qatadah (w. 117 H), Ibnu Syihab al-Zuhri (w. 124 H), Amr bin Dinar (w. 126 H), Abdullah bin Dinar (w. 127 H), Hammam bin Munabbih (w. 132 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Kelima: Tabi’ Tabi’in Kibar (Murid Tabi’in Senior)
Thabaqah ini mencakup para perawi yang belajar langsung dari tabi’in senior, yaitu tabi’in yang masih memiliki hubungan kuat dengan sahabat Nabi ﷺ. Mereka adalah generasi awal dari tabi’ tabi’in. Di antara mereka, yakni: Abu al-Zinad (w. 130 H), Ayyub bin Abi Taimiyah (w. 131 H), Yahya bin Sa’id (w. 144 H), Hisyam bin ‘Urwah bin Zubair (w. 145 H), al-A’masy (w. 147 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Keenam: Tabi’ Tabi’in Ausath (Murid Tabi’in Pertengahan)
Mereka adalah murid dari tabi’in yang hidup di pertengahan masa tabi’in. Kelompok ini memperkuat tradisi keilmuan dengan menghubungkan hadis dari tabi’in pertengahan ke generasi berikutnya. Di antara mereka, yakni: Uqail bin Khalid (w. 144 H), Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah (w. 145 H), Ibnu Juraij (w. 150 H), Abdullah bin ‘Aun bin Artaban (w. 150 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Ketujuh: Tabi’ Tabi’in Sighar (Murid Tabi’in Yunior)
Perawi dalam thabaqah ini adalah murid dari tabi’in yunior yang tidak sempat bertemu dengan sahabat, tetapi masih memiliki kedekatan dengan tabi’in senior melalui guru-gurunya. Di antara mereka, yakni: al- Auza’i (w. 157 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Sufyan al-Sauri (w. 161 H), Hammam bin Yahya (w. 164 H), Abdullah bin Lahi’ah (w. 174 H), Abu ‘Awwanah (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Kedelapan: Atba’ Tabi’ Tabi’in Kibar
Generasi awal dari pengikut tabi’ tabi’in yang menerima ilmu dari tabi’ tabi’in senior. Mereka mulai mendokumentasikan hadis dalam kitab-kitab hadis yang lebih formal. Di antara mereka, yakni: Hammad bin Salamah (w. 167 H), Abdullah bin al-Mubarak (w. 181 H), Khalid bin al-Haris (w. 186 H), Ibnu ‘Ulayyah (w. 193 H), Sufyan bin ‘Uyainah (w. 198 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Kesembilan: Atba’ Tabi’ Tabi’in Ausath
Generasi ini menerima ilmu dari murid tabi’ tabi’in pertengahan. Mereka melanjutkan tradisi keilmuan dengan menyebarkan hadis ke wilayah yang lebih luas. Di antara mereka, yakni: Waki bin al-Jarrah (w. 196 H), Abdurrahman bin Mahdi (w. 198 H), Abdullah bin Numair (w. 199 H), Abu Dawud al-Thayalisi (w. 204 H), Muhammad bin Idris al-Syafi’i (w. 204 H), al-Dhahak bin Mukhallad (w. 212 H), Abdullah bin Maslamah (w. 221 H), Sulaiman bin Harb (w. 224 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Kesepuluh: Atba’ Tabi’ Tabi’in Sighar
Kelompok ini merupakan murid dari tabi’ tabi’in yunior. Mereka adalah generasi terakhir yang memiliki akses langsung ke sumber hadis dari generasi sebelumnya. Di antara mereka, yakni: Musaddad bin Masrahad (w. 228 H), Yahya bin Bukair (w. 226 H), Yahya bin Ma’in (w. 233 H), Zuhair bin Harb (w. 234 H), Ibn al-Madini (w. 234 H), Abu Bakr bin Abi Syaibah (w. 235 H), Ibnu Rahuyah/Rahawaih al-Marwazi (w. 237 H), Mahmud bin Gailan (w. 239 H), Qutaibah bin Sa’id (w. 240 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Ahmad bin Mani’ (w. 244 H), Abu Kuraib (w. 248 H), Muhammad bin Basyar (w. 252 H), Muhammad bin al-Mutsanna (w. 252 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Kesebelas: Murid Perawi Klasik Senior
Generasi yang mempelajari hadis dari murid tabi’ tabi’in terakhir dan mulai menyusun serta mengkritisi hadis dengan metode yang lebih sistematis. Di antara mereka, yakni: Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H), Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi (w. 261 H), Abu Dawud al-Sijistani (w. 275 H), dan lain-lain.
- Thabaqah Keduabelas: Murid Perawi Klasik Yunior
Thabaqah Keduabelas merujuk pada generasi perawi yang hidup pada masa transisi antara tradisi periwayatan lisan ke era kodifikasi besar-besaran dalam bentuk kitab hadis. Mereka adalah murid dari generasi Atba’ Tabi’ Tabi’in dan memiliki kontribusi besar dalam menyusun kitab-kitab hadis yang menjadi rujukan utama umat Islam hingga saat ini. Di antara mereka, yakni: Ibnu Majah al-Qazwaini (w. 273 H), Muhammad bin ‘Isa al-Tirmidzi (w. 279 H), Ahmad bin Syu’aib al-Nasa’i (w. 303 H), Ibnu Hibban (w. 345 H), al-Hakim an-Naisaburi, dan lain-lain.
Objek Kajian Ilmu Thabaqat al-Ruwah
Ilmu Thabaqat al-Ruwah memfokuskan kajiannya pada klasifikasi perawi hadis berdasarkan periode hidup mereka dan hubungan guru-murid dalam rantai sanad. Objek utama kajian ini mencakup:
- Generasi Perawi – Mengelompokkan perawi ke dalam generasi seperti Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tabi’in, hingga generasi setelahnya.
- Hubungan Guru-Murid – Menelusuri apakah seorang perawi pernah bertemu atau berguru kepada perawi tertentu untuk memastikan kesinambungan sanad.
- Konteks Historis – Mengkaji latar belakang masa hidup perawi untuk memastikan bahwa mereka hidup pada periode yang memungkinkan mereka bertemu atau menerima hadis secara langsung.
Misalnya, seorang perawi dari thabaqah Tabi’ Tabi’in tidak mungkin meriwayatkan langsung dari Sahabat tanpa perantara. Dengan demikian, ilmu ini berperan dalam menilai apakah sanad hadis memiliki kesinambungan atau terdapat pemutusan.
Urgensi Ilmu Thabaqat al-Ruwah dalam Validasi Hadis
Ilmu thabaqat sangat penting untuk memastikan keaslian dan kesinambungan sanad. Meskipun tidak menilai kredibilitas perawi secara langsung seperti ilmu jarh wa ta’dil, ilmu thabaqat memverifikasi apakah hubungan antarperawi dalam sanad benar-benar mungkin terjadi berdasarkan periode hidup mereka.
Sebagai contoh:
Jika ditemukan sebuah sanad yang menyebutkan perawi dari generasi Tabi’ Tabi’in menerima hadis dari seorang Sahabat tanpa adanya perawi di antaranya, ilmu thabaqat akan menunjukkan bahwa sanad ini bermasalah karena adanya inqitha’ (pemutusan sanad) akibat perbedaan generasi yang tidak terjembatani.
Peran Ilmu Thabaqat dalam Memelihara Warisan Islam
Ilmu thabaqat membantu menjaga kemurnian hadis dengan memastikan bahwa sanad setiap hadis terverifikasi dari segi kesinambungan historisnya. Peran ini sangat berharga dalam pelestarian ajaran Islam yang otentik. Para ulama seperti Imam Bukhari sering menggunakan pendekatan ilmu ini untuk menelusuri kesahihan sanad dengan memastikan bahwa setiap perawi benar-benar semasa atau memiliki hubungan guru-murid yang sahih.
Misalnya, meskipun Muhammad bin Ishaq dikenal sebagai ahli sejarah, kehadirannya dalam sanad akan diuji berdasarkan apakah ia benar-benar sezaman dan berguru kepada perawi yang disebutkan. Peran ini bukan dalam menilai kredibilitasnya, melainkan memastikan kesinambungan dalam rantai periwayatan hadis.
Ilmu Thabaqat Beriringan dengan Jarh wa Ta’dil
Ilmu thabaqat dan jarh wa ta’dil sering bekerja bersamaan. Sementara jarh wa ta’dil menilai keadilan dan kejujuran perawi, thabaqat memastikan kesesuaian kronologi dan hubungan antara perawi. Kedua ilmu ini saling melengkapi dalam menjaga keaslian hadis dan memastikan bahwa ajaran Rasulullah ﷺ sampai kepada umat tanpa penyimpangan.
Baca Juga: Mengenal Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dalam Ilmu Hadis
Akhir Kata
Ilmu Thabaqat al-Ruwah mengajarkan kita bahwa perjalanan sebuah hadis dari Rasulullah ﷺ hingga sampai ke tangan kita saat ini adalah proses yang panjang dan penuh pengorbanan. Memahami ilmu ini adalah bagian dari menghargai warisan para perawi yang menjaga kemurnian Islam. Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab untuk melanjutkan estafet ini dengan menjaga ilmu dan mengamalkannya sesuai dengan petunjuk Rasulullah ﷺ.
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
“Sampaikan dariku walaupun hanya satu ayat.” (HR. Bukhari)
Mari kita terus menyampaikan ilmu ini, menjaga sanad dan sanad kehidupan kita agar tetap bersambung dengan ajaran Rasulullah ﷺ.