Menghafal Ilmu, Menghidupkan Peradaban: Menyingkap Hikmah Kitab الحث على حفظ العلم

Wahai para pencinta ilmu, di mana pun kalian berada.
Di zaman ini, setelah lebih dari dua belas abad berlalu sejak cahaya Islam pertama kali menyinari dunia, kita mendapati bahwa umat ini semakin jauh dari khazanah keilmuannya. Kitab-kitab yang dahulu menjadi lentera peradaban kini seakan terselubung debu kealpaan.

Ketahuilah, warisan itu bukan sekadar tulisan di atas lembaran kertas yang usang, melainkan pancaran hikmah dari para ulama, cahaya yang menerangi zaman, hidup di masa lalu, relevan di masa kini, dan tetap layak menjadi panduan hingga hari esok. Kebangkitan umat ini tidak akan terwujud kecuali dengan kembali kepada literatur-literatur itu, kepada ilmu yang pernah mengangkat peradaban hingga mencapai puncaknya.

Tentu, semua literatur ini berpulang pada dua sumber utama:
Sabda Nabi ﷺ:

تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَ هُمَا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ

“Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya: Kitabullah dan Sunnahku. Keduanya tidak akan berpisah hingga mendatangiku di Telaga (di Surga).”

Dari sinilah para ulama mengkaji, menganalisis, meneliti, dan menggali ilmu yang telah mereka hafal. Dari ingatan yang terpatri di hati, lahirlah untaian kata yang mengabadikan hikmah, menjelma menjadi karya-karya luar biasa yang menuntun perjalanan zaman.

Maka, sudah saatnya kita membuka kembali lembaran yang telah lama tersembunyi, entah karena terlupakan atau sengaja ditutupi. Kita singkap kembali warisan keilmuan ini agar kita dapat belajar, merancang kurikulum peradaban, serta menapaki jalan yang telah membimbing umat menuju kejayaannya.

Di antara khazanah berharga itu, salah satu yang patut kita renungkan adalah sebuah kitab pendidikan Islam yang agung: Al-Hath ‘Ala Hifdzil ‘IlmDorongan untuk Menghafal Ilmu, karya seorang alim besar, Imam Ibnul Jauzi (w. 597 H).

Namun sebelum menyelami lautan ilmunya, marilah kita mengenal sosok yang menulisnya, agar kita memahami bahwa beliau adalah seseorang yang layak berbicara tentang keutamaan ilmu.

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah, yang bernama asli Abdurrahman, telah menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap ilmu sejak usia belia. Beliau bukan sekadar seorang alim, tetapi seorang al-wa’izh (pemberi nasihat) yang kehadirannya dinanti ribuan orang. Majelisnya bukan hanya dipenuhi kaum Muslimin, tetapi juga dihadiri oleh Yahudi dan Nasrani yang akhirnya menemukan cahaya Islam melalui kata-kata hikmahnya.

Seorang ulama sezamannya, Abdul Latif al-Baghdadi, berkata tentangnya:

له في العلم مشاركة  – ia memiliki andil dalam setiap cabang ilmu.
لكنه كان في التفسير من الأعيان  – Namun, dalam ilmu tafsir, ia adalah tokohnya.
وفي الحديث من الحفّاظ  – Dalam ilmu hadis, ia termasuk para hafizh yang unggul.
وفي التاريخ من المتوسّعين  – Dalam sejarah, ia adalah samudra wawasan yang luas.
ولديه فقه كافٍ  – Dan dalam fiqih, ilmunya amat mendalam.

Sungguh, inilah sosok yang kata-katanya memiliki bobot, yang ilmunya bagaikan pelita di kegelapan, dan yang karyanya akan kita selami, meski hanya dari pengantar yang beliau tuliskan.

Mari kita mulai perjalanan ini melalui muqaddimah di dalam kitabnya, yakni Al-Hath ‘Ala Hifdzil ‘Ilm.

الحمد لله الذي جعلنا بانعامه علينا خير أمة،
Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat dan karunia-Nya telah menjadikan kita sebagai umat terbaik.

ومنحنا الألفة من الجهل، وعلو الهمة،
Dialah Allah yang telah menganugerahkan kepada kita persatuan dan menjauhkan kita dari kebodohan, serta memberikan kita semangat yang tinggi.

ورزقنا حفظ القرآن والعلوم المهمة،
Dan dialah Allah yang harus kita syukuri nikmatnya karena telah mengaruniakan kepada kita kemampuan untuk menghafal Al-Qur’an dan ilmu-ilmu yang penting lagi bermanfaat.

وشرفنا بنبينا محمد، نبي الرحمة، ﷺ،
Serta Dialah Allah yang telah memuliakan kita dengan mengutus Nabi kita, Muhammad ﷺ, sang pembawa rahmat (Nabi Penuh Kasih Sayang).

وعلى من تبع طريقته وأمه، وسلم تسليما ما اختلف ضوء وظلمة.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepadanya, kepada keluarganya, para sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti jalannya dengan baik hingga hari kiamat, selama siang dan malam silih berganti.

أما بعد :
Amma ba’du:

فإن الله عز وجل خص أمتنا بحفظ القرآن والعلم،
Sesungguhnya Allah عز وجل telah mengkhususkan umat kita (umat Islam) dengan menghafal Al-Qur’an dan ilmu.

وقد كان من قبلنا يقرؤون كثيراً من الصحف، ولا يقدرون على الحفظ،
Dahulu, umat-umat sebelum kita banyak membaca dari lembaran-lembaran tertulis, tetapi mereka tidak mampu menghafalnya. (Jadi beliau ingin menyampaikan kepada kita bahwa ternyata keistimewaan umat Islam dalam belajar ilmu adalah terletak pada “Menghafal”)

فلما جاء عزيز فقرأ التوراة من حفظه، قالوا: هذا ابن الله !
Ketika seorang laki-laki mulia membaca Taurat dari hafalannya, mereka berkata: “Ini adalah anak Tuhan!” (Beliau juga ingin menyampaikan bahwa saking langkanya keistimewaan umat Islam, seorang pemuda Yahudi bernama Uzair mampu membaca Taurat dari hafalannya, seperti kita membaca dan menghafal al-Qur’an tanpa harus membuka tulisan atau lembaran Taurat sampai mereka mengatakan ini pasti anak Tuhan)

فكيف تقوم بحكم من شريعتنا أن ابن ستين سنة متى قرأ القرآن ظهر عليه ؟
Bagaimana mungkin dalam syariat kita, seorang yang berusia enam puluh tahun, ketika membaca Al-Qur’an, terlihat tanda-tanda perubahan pada dirinya? (Sekarang beliau mencoba menyampaikan bahwa kita harus bersyukur, bahwa kita generasi umat Nabi Muhammad bahkan ada yang hafal al-Qur’an di usia yang masih sangat belia)

لم ليس في الأمة من ينقل عن غيره وأعماله على وجه يجتنب به الفتنة ؟
Mengapa tidak ada seorang pun dalam umat ini yang bisa meriwayatkan dari selainnya dan mengamalkan ilmunya dengan cara yang dapat menghindarkan dari fitnah? (Kemudian beliau ingin menerangkan bahwa tidak ada umat sebelum umat nabi Muhammad, yang menyampaikan kisah dalam kitabnya, kecuali kitalah yang sanggup menghadirkan kemampuan itu dengan sangat meyakinkan)

فإنه يروي الحديث مما خالف من سلف،
Mereka meriwayatkan hadis yang bertentangan dengan pendapat generasi sebelumnya. (bahwa hadis itu diriwayat dari orang terdahulu ke belakang)

وينظرون فقه الراوي إلى أن يصل الأمر إلى رسول الله ﷺ،
Lalu meneliti pemahaman fiqih dari perawi sampai perkara itu benar-benar Rasulullah ﷺ yang bersabda.

وسلم الأب، ويروون ما يذكرونه من صحيفة لا يرى من كتبها، ولا يعرف من نقلها،
Sementara itu, orang-orang meriwayatkan sesuatu dari catatan yang mereka sendiri tidak mengetahui siapa yang menulisnya dan siapa yang menukilkannya.

وفيها المنحة العظيمة نفترق إلى حفظها، وحفظها بدوام الدراسة، لئلا يقي الحفظ،
Padahal dalam menghafal ilmu terdapat anugerah yang agung, ilmu tidak akan bertahan kecuali dengan terus-menerus diulang dan dipelajari.

وقد كان خلق كثير من سلفنا يحفظون الكثير من القرآن،
Banyak dari para ulama salaf kita yang menghafal banyak dari Al-Qur’an.

فقال الأعرابي أقوام يقرؤون من الإعادة مبلاد إلى الكسل،
Seorang Arab Badui berkata: “Kaum yang hanya membaca dari ulangannya, akhirnya menjadi malas.”

فإذا احتاج أحدهم إلى محفوظ لم يقدر عليه،
Jika salah satu dari mereka membutuhkan hafalan, maka ia tidak menemukannya.

ولقد تأملت على المشتغفة أنهم يعيدون الدرس مرتين أو ثلاثاً،
Aku telah memperhatikan bahwa para penuntut ilmu mengulang pelajaran mereka dua atau tiga kali.

فإذا مر على أحدهم يومان نسي ذلك،
Namun, jika berlalu dua hari, mereka pun melupakannya.

وإذا افتقر إلى شيء من تلك المسألة في المناظرة لم يقدر على ذلك،
Jika mereka membutuhkan sesuatu dari permasalahan tersebut dalam perdebatan, mereka tidak mampu mengingatnya.

فذهب زمان الأول ناعماً،
Maka, zaman dahulu berlalu dalam kenyamanan.

ويحتاج أن يبتدئ الحفظ لما تعب فيه أولاً، والسبب أنه لم يحكمه.
Dan seseorang harus memulai hafalan dari awal dengan kesulitan yang telah ia alami sebelumnya, sebab utama dari hal ini adalah bahwa ia tidak menguasainya dengan baik.

ولما رأيت الكسل مستولياً على المتشاغلين بالعلم،
Ketika aku melihat bahwa kemalasan telah menguasai para penuntut ilmu,

وضعت هذا الكتاب محرضاً لهم على الاجتهاد، ومغذلاً على الكسل.
Aku pun menulis kitab ini untuk mendorong mereka agar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, serta sebagai peringatan agar mereka tidak terjerumus dalam sifat malas.

Akhir Kalam

Dari sini kita memahami bahwa Imam Ibnu Jauzi rahimahullah, dalam muqaddimahnya, telah menghamparkan hikmah yang agung. Beliau mengingatkan kita bahwa umat Muhammad ﷺ telah dianugerahi kemuliaan yang tiada banding dalam ilmu, suatu keistimewaan yang tidak diberikan kepada umat-umat terdahulu.

Para ulama hadis menegaskan bahwa kemuliaan umat ini terletak pada sanad yang terjaga, sebagaimana pula keajaiban menghafal yang menjadi ciri khas umat Islam. Menghafal bukan sekadar tradisi, melainkan cahaya yang menjaga ilmu dari gelapnya kealpaan. Namun, di masanya, Imam Ibnu Jauzi menyaksikan awan kelalaian mulai menaungi para pencari ilmu.

Hari ini, kemalasan bukan sekadar kelemahan jiwa, melainkan bertemu dengan racun pemikiran yang meremehkan hafalan disebut kuno, dikatakan mengekang, dianggap beban bagi akal. Maka, kitab ini hadir sebagai sanggahan atas anggapan keliru itu, sebagai lentera yang menuntun umat kembali kepada warisan ilmu yang terjaga.

Betapa indahnya ketika seorang alim menulis dengan mata hati, membangunkan jiwa-jiwa yang tertidur, dan mengobarkan semangat dalam dada yang redup. Semoga dengan risalah ini, kita kembali memahami bahwa ilmu bukan sekadar untuk dibaca dan dilalui, tetapi untuk dihafal, dijaga, dan diamalkan, sebagai warisan abadi yang menghubungkan kita dengan generasi terbaik sebelum kita.

وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *