Ulumulhadis.id – Secara bahasa, mu’allaq (مُعَلَّق) merupakan ism al-maf’ul (اسم المفعول) dari kata: ‘allaqa (عَلَّقَ) yang berarti “menggantungkan,” yu’alliqu (يُعَلِّقُ) yang berarti “sedang menggantungkan,” ta’liiq (تَعْلِيقٌ) yang berarti “penggantungan,” dan mu’allaqun (مُعَلَّقٌ) yang berarti “yang tergantung.”
Penggunaan istilah “tergantung” ini merujuk pada bentuk hadis mu’allaq, di mana pada awal sanadnya, periwayat tidak disebutkan atau terputus. Sehingga, seolah-olah sanadnya menggantung, tidak tersambung dengan mukharrij al-hadis (orang yang meriwayatkan dan menuliskan hadis tersebut dalam kitab hadisnya).
Secara istilah, para ulama hadis mendefinisikan hadis mu’allaq sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn al-Salah dalam kitabnya ‘Ulum al-Hadith:
“Hadis yang periwayatannya digugurkan (tidak disebutkan) dari awal sanadnya, baik satu atau lebih periwayat secara berurutan, meskipun sampai akhir sanad.”
Penggunaan kata “digugurkan” (dalam bahasa Arab: “حُذِفَ”) menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, tidak disebutkannya periwayat dari awal sanad dilakukan secara sengaja oleh mukharrij al-hadis. Tujuan pengguguran ini bisa bermacam-macam, seperti untuk meringkas, membedakan dengan hadis lain dalam kitabnya, atau alasan lainnya. Sebab, dalam banyak hal, sangat kecil kemungkinan seorang mukharrij tidak mengetahui nama periwayat atau terjadi keterputusan sanad dengannya.
Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa kitab hadis terkemuka, seperti Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim, serta dalam kitab Sunan at-Tirmidzi dan Sunan Abi Dawud. Dalam Muwatta’ Imam Malik, dikenal istilah Balaghat al-Imam Malik (بَلَغَتْ إِمَامُ مَالِكٍ), yang merujuk pada hadis-hadis yang beliau buang sanadnya dari awal dan hanya menyebutkan matan hadis dengan mengatakan: “Balaghani an…” (بَلَغَنِي عَنْ).
Berikut ini adalah beberapa bentuk hadis mu’allaq yang sering ditemukan:
1. Sanadnya dibuang dari awal hingga akhir, dan kemudian hanya menyebutkan matan hadis kepada sumbernya.
Contoh: Dalam Sahih al-Bukhari tepatnya dalam Kitab al-Jana’iz (Kitab tentang Jenazah), Bab Qaul an-Nabi ﷺ Yu’adzdzabu al-Mayit Bibukaa’i Ahlihi ‘Alaih (Bab Perkataan Nabi ﷺ bahwa Mayit Disiksa karena Tangisan Keluarganya atasnya).
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا إِلَّا كَانَ عَلَى ابْنِ آدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِهَا لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ
“Nabi ﷺ bersabda: ‘Tidaklah ada satu jiwa pun yang terbunuh secara zalim, kecuali anak Adam yang pertama (Qabil) akan mendapatkan bagian dari darahnya karena dia adalah orang pertama yang mencontohkan pembunuhan’”
Pada contoh ini, Imam al-Bukhari membuang seluruh sanad dan hanya menyebutkan matan hadis, yang langsung disandarkan kepada Nabi ﷺ. Hal seperti ini sering ditemukan dalam judul bab atau pengantar dalam kitab Sahih al-Bukhari.
Demikian contoh lain dari al-Muwatta’ Imam Malik:
بَلَغَنِي أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ قَالَ:
لَبَيْتُ بِرُكْبَتِي أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ عَشَرَةِ أَبْيَاتٍ بِالشَّأْمِ.
“Telah sampai kepadaku bahwa Umar bin Khattab berkata: ‘Aku lebih suka bermalam dengan lututku (di atas tanah) daripada memiliki sepuluh rumah di Syam.'”
Dalam contoh ini, riwayat yang termaktub dalam kitab Muwatta’ Imam Malik termasuk dalam kategori ungkapan atau atsar tanpa sanad lengkap. Ungkapan ini merupakan bentuk balaghah, di mana Imam Malik menyampaikan informasi yang sampai kepadanya tanpa mencantumkan seluruh jalur periwayatan.
Demikian halnya, riwayat ini adalah salah satu dari banyak contoh di dalam kitab hadis Muwatta’ Imam Malik yang menggunakan ungkapan “balaghani anna” untuk menyampaikan informasi yang diterima Imam Malik melalui jalur periwayatan tertentu, meskipun tidak menyebutkan sanad secara lengkap.
2. Sanadnya dibuang dari awal hingga akhir, dan tidak menyebutkan sumber matan hadis.
Contoh: Dalam Sahih al-Bukhari tepatnya dalam Kitab al-Wudu’ (Kitab tentang Wudu’), Bab Idza Ulqi ‘Ala Zahril Musalli Qadhurun Aw Jiifatun Lam Tafsud ‘Alaih Salatuhu (Bab Apabila Ada Kotoran atau Bangkai yang Dilemparkan di Punggung Orang yang Shalat, Tidak Membatalkan Shalatnya):
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا رَءَا فِي ثَوْبِهِ دَمًا وَهُوَ يُصَلِّي وَضَعَهُ وَمَضَى فِي صَلاَتِهِ
Ibnu Umar berkata: “Jika saya melihat darah pada pakaian saya saat shalat, saya meletakkannya dan melanjutkan shalat saya.”
Dalam contoh ini, Imam al-Bukhari hanya menyebutkan matan hadis yang berasal dari Ibnu Umar, tanpa menyebutkan jalur sanad atau periwayatan sebelumnya. Ini adalah contoh hadis mu’allaq, yang biasanya ditemukan dalam bagian awal atau pengantar bab, di mana sanadnya dibuang dan langsung mengutip matan hadis.
3. Sanadnya dibuang dari awal hingga akhir, kecuali rawi sahabi (periwayat dari kalangan sahabat).
Contoh: Dalam Sahih al-Bukhari, Kitab al-Zakah, Bab “Maqala Rasulullah ﷺ: Ma Naqasat Sadaqatun Min Malin” (Bab Perkataan Rasulullah ﷺ bahwa Sedekah Tidak Akan Mengurangi Harta), terdapat hadis sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ.
“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Sedekah tidak akan mengurangi harta.’”
Di sini, Imam al-Bukhari hanya menyebutkan sahabat (Abu Hurairah) tanpa menyebutkan periwayat sebelumnya.
4. Sanadnya dibuang dari awal kecuali rawi sahabi dan rawi tabi’i (periwayat dari kalangan tabi’in).
Contoh: Dalam Sahih al-Bukhari, Kitab al-Sawm (Kitab tentang Puasa), Bab Hal Yaqulu Inni Shaimun idha Shatamahu (Bab Apakah Dikatakan ‘Sesungguhnya Aku Sedang Puasa’ Jika Ada yang Mencaci) terdapat hadis:
عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “الصِّيَامُ جُنَّةٌ،
Dari al-A’raj, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Puasa adalah perisai.
Pada contoh ini, sanad hanya disebutkan sampai kepada tabi’in (al-A’raj’) dan sahabat (Abu Hurairah), tanpa periwayat sebelumnya.
Hukum Hadis Mu’allaq
Dalam Sahih al-Bukhari, yang menurut jumhur ulama hadis berisi hadis-hadis dengan derajat kuat lebih tinggi dibandingkan kitab-kitab hadis lainnya, terdapat cukup banyak hadis mu’allaq. Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani, jumlah hadis mu’allaq dalam Sahih al-Bukhari mencapai sekitar 1341 hadis. Namun, sebagian besar dari hadis-hadis tersebut merupakan hadis yang sudah disebutkan sebelumnya dalam bab lainnya, sehingga al-Bukhari menggugurkan sanadnya dengan tujuan meringkas. Sedangkan jumlah hadis mu’allaq yang tidak disebutkan dalam bab lain, jumlahnya hanya sekitar 160 hadis.
Secara umum, hadis mu’allaq dianggap mardud (tertolak) karena tidak memenuhi syarat kesinambungan sanad. Namun, hadis mu’allaq dalam kitab Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim memiliki kedudukan khusus. Menurut penelitian para ulama seperti Ibn Hajar al-Asqalani dalam Taghliq al-Ta’liq dan Taqrib al-Ta’liq, sanad dari hadis-hadis mu’allaq dalam kedua kitab tersebut pada dasarnya bersambung.
Hadis mu’allaq yang disebutkan dengan sighah jazm seperti qaala (قال) atau dzakara (ذكر) umumnya dihukumi sahih. Sedangkan hadis dengan sighah tamridh seperti qiila (قيل) atau dzukira (ذُكر) perlu penelitian lebih lanjut karena bisa termasuk hadis dha’if atau hasan.
Dengan demikian, hadis mu’allaq dalam Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim tetap dianggap valid karena penelitian mendalam telah memastikan keaslian sanadnya.