Hadis merupakan salah satu sumber utama dalam Islam setelah Al-Qur’an. Untuk memastikan keautentikan suatu hadis, para ulama mengembangkan Ilmu Musthalah Hadis, yang berfungsi untuk menilai dan mengklasifikasikan hadis berdasarkan kekuatan sanad dan matannya. Dalam kajian ini, ada hadis yang tergolong sahih dan dapat dijadikan pedoman, namun ada pula yang dianggap lemah atau dhaif.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan suatu hadis dikategorikan sebagai dhaif adalah adanya perawi yang majhul—yaitu perawi yang tidak dikenal identitas dan kredibilitasnya dalam sanad. Ketika seorang perawi tidak memiliki informasi yang cukup mengenai keadilannya ataupun ketelitiannya, maka hadis yang diriwayatkannya menjadi lemah. Lalu, bagaimana para ulama mengidentifikasi perawi majhul, dan apa dampaknya terhadap validitas suatu hadis?
Definisi Hadis Lemah (Dhaif)
Hadis lemah atau dhaif adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih atau hasan. Kelemahan ini dapat terjadi karena berbagai faktor, di antaranya:
- Keterputusan sanad (inqitha’) – ketika rantai periwayatan tidak bersambung.
- Kelemahan atau ketidakadilan perawi – perawi yang tidak memenuhi kriteria adil.
- Kelemahan dalam daya ingat perawi – perawi yang hafalannya buruk atau sering salah dalam meriwayatkan hadis.
- Adanya perawi majhul – ketika seorang perawi tidak dikenal dalam dunia kritik hadis.
Dalam pembahasan ini, kita akan menyoroti hadis lemah yang disebabkan oleh keberadaan perawi majhul dalam sanadnya.
Pengertian Perawi Majhul
Secara bahasa, majhul berarti “tidak diketahui”. Dalam ilmu hadis, majhul mengacu pada seorang perawi yang identitasnya atau statusnya dalam al-jarh wa al-ta’dil tidak jelas. Padahal, seorang perawi harus memiliki dua sifat utama agar riwayatnya dapat diterima:
- ‘Adalah (Keadilan) – Perawi harus dikenal sebagai pribadi yang berakhlak baik, bertakwa, serta tidak melakukan dosa besar atau terus-menerus melakukan dosa kecil.
- Dhabit (Ketelitian dan Hafalan Kuat) – Perawi harus memiliki daya ingat yang baik dan mampu meriwayatkan hadis dengan akurat.
Jika seorang perawi tidak diketahui keadilannya atau ketelitiannya, maka hadis yang diriwayatkannya otomatis dianggap lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah.
Kategori Perawi Majhul
Dalam ilmu hadis, perawi majhul terbagi menjadi tiga kategori utama:
1. Majhul al-‘Ayn (Tidak Dikenal Nama dan Identitasnya)
Dalam beberapa riwayat, ada perawi yang hanya disebutkan namanya dalam sanad, tetapi tidak ada informasi tambahan mengenai siapa dia dan bagaimana kredibilitasnya. Jika hanya satu orang yang meriwayatkan darinya, maka hadis yang disampaikan akan tertolak karena tidak ada cukup informasi untuk menilai keandalannya.
Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi majhul al-‘ayn hanya dapat diterima jika ada ulama hadis yang secara tegas menyatakan bahwa ia seorang tsiqah (terpercaya). Jika tidak, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Majhul al-Hal (Tidak Dikenal Kepribadiannya)
Berbeda dengan majhul al-‘ayn, dalam kategori ini seorang perawi memang dikenal namanya, tetapi tidak diketahui kualitas keadilannya—apakah ia orang yang tsiqah atau tidak. Karena itu, perawi semacam ini juga disebut al-mastur (tersembunyi).
Jika seorang perawi majhul al-hal tidak mendapat komentar positif dari para ulama mengenai kepribadiannya, maka hadis yang diriwayatkannya tetap dianggap lemah. Pendapat yang paling kuat di kalangan ulama menyatakan bahwa riwayat dari perawi seperti ini harus ditolak.
3. Al-Mubham (Tidak Disebut Namanya dengan Jelas dalam Sanad)
Ada pula perawi yang bahkan tidak disebutkan namanya secara spesifik dalam sanad. Ia hanya disebut dengan istilah umum seperti seseorang, seorang laki-laki, atau seorang perempuan. Ketika nama perawi tidak disebutkan dengan jelas, maka hadis yang diriwayatkannya otomatis tertolak.
Riwayat perawi dalam kategori al-mubham hanya bisa diterima jika namanya dapat diidentifikasi dengan jelas, lalu dikaji apakah ia seorang yang adil dan dhabith atau tidak. Jika tetap tidak diketahui, maka hadisnya tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum.
Bahkan, jika seorang perawi disebut dengan ungkapan yang tampak positif seperti, “seseorang yang tsiqah telah mengabarkan kepadaku”, hadisnya tetap dianggap lemah menurut pendapat yang kuat. Hal ini karena status perawi tersebut tidak diketahui secara spesifik dalam ilmu hadis.
Contoh Hadis Lemah Karena Perawi Majhul
Hadis yang dianggap lemah karena adanya perawi majhul dalam sanadnya misalnya adalah:
- Hadis yang sanadnya mencantumkan perawi yang tidak ditemukan dalam kitab-kitab rijal (biografi perawi), sehingga tidak dapat diverifikasi keandalannya.
- Hadis yang hanya diriwayatkan oleh satu orang yang tidak dikenal dalam keilmuannya.
Para ulama hadis, seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad bin Hanbal, menolak hadis-hadis yang di dalamnya terdapat perawi majhul. Mereka berpendapat bahwa suatu hadis harus memiliki sanad yang jelas dan perawi yang dapat dipertanggungjawabkan keadilannya.
Dampak Hadis Lemah Terhadap Hukum Islam
Hadis yang dianggap lemah karena perawi majhul tidak dapat dijadikan dasar dalam hukum Islam. Para ulama menetapkan bahwa hadis dhaif hanya boleh digunakan dalam kondisi tertentu, seperti:
- Dalam keutamaan amal (fadhail al-a‘mal) – selama tidak bertentangan dengan hadis sahih.
- Dalam motivasi ibadah – asalkan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan prinsip Islam.
Namun, jika hadis dhaif digunakan sebagai dasar hukum syariat—misalnya dalam penentuan halal dan haram—maka hal itu tidak diperbolehkan.
Cara Ulama Menilai Perawi Majhul
Para ulama hadis menggunakan berbagai metode untuk menilai apakah seorang perawi dapat diterima atau tidak, di antaranya:
- Pengecekan dalam Kitab Rijal – Kitab seperti Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi atau Lisan al-Mizan karya Ibn Hajar digunakan untuk melihat apakah seorang perawi disebut dan bagaimana statusnya.
- Melihat Jumlah Perawi yang Meriwayatkan Darinya – Jika hanya satu orang yang meriwayatkan dari seorang perawi tanpa informasi lain, hadisnya sering kali ditolak.
- Menilai Komentar Ulama Hadis – Jika ulama hadis seperti Imam al-Bukhari, Yahya bin Ma’in, atau Imam Ahmad memberikan komentar negatif terhadap seorang perawi, maka hadisnya dianggap lemah.
Akhir Kalam
Hadis yang di dalam sanadnya terdapat perawi majhul termasuk dalam kategori hadis lemah. Para ulama hadis telah menetapkan metode yang ketat dalam menilai sanad demi menjaga kemurnian ajaran Islam. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami metode kritik sanad agar tidak terjebak dalam penggunaan hadis yang tidak valid dalam kehidupan beragama.