Ulumulhadis.id – Dalam khazanah ilmu hadis, terdapat berbagai kategori hadis yang diklasifikasikan berdasarkan kualitas dan keabsahannya. Salah satu kategori yang menarik untuk dikaji adalah hadis mudtarib. Hadis ini memiliki ciri khas tersendiri, yaitu ketidakkonsistenan dalam periwayatannya, baik dari segi sanad (rantai periwayatan) maupun matan (teks hadis). Ketidakkonsistenan ini membuat hadis mudtarib dianggap lemah dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah (dalil) dalam menetapkan hukum Islam. Tulisan ini akan membahas secara mendalam tentang pengertian, penyebab, bentuk, dan contoh hadis mudtarib, serta dampaknya terhadap hukum Islam.
Pengertian Hadis Mudtarib
Secara bahasa, kata “mudtarib” berasal dari kata dasar idtirab yang berarti goncang atau tidak stabil. Dalam konteks ilmu hadis, hadis mudtarib merujuk pada hadis yang diriwayatkan dengan berbagai versi yang berbeda-beda, baik dalam sanad maupun matan, sehingga menimbulkan keraguan dan ketidakpastian mengenai keaslian dan keabsahannya.
Imam Ibnu Ash-Shalah menjelaskan:
الْمُضْطَرِبُ مِنَ الْحَدِيثِ: هُوَ الَّذِي تَخْتَلِفُ الرِّوَايَةُ فِيهِ؛ فَيَرْوِيهِ بَعْضُهُمْ عَلَى وَجْهٍ وَبَعْضُهُمْ عَلَى وَجْهٍ آخَرَ مُخَالِفٍ لَهُ؛ وَإِنَّمَا نُسَمِّيهِ مُضْطَرِبًا إِذَا تَسَاوَتِ الرِّوَايَتَانِ؛ أَمَّا إِذَا تَرَجَّحَتْ إِحْدَاهُمَا بِحَيْثُ لَا تُقَاوِمُهَا الْأُخْرَى بِأَنْ يَكُونَ رَاوِيهَا أَحْفَظَ، أَوْ أَكْثَرَ صُحْبَةً لِلْمَرْوِيِّ عَنْهُ، أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ مِنْ وُجُوهِ التَّرْجِيحَاتِ الْمُعْتَمَدَةِ، فَالْحُكْمُ لِلرَّاجِحَةِ، وَلَا يُطْلَقُ عَلَيْهِ حِينَئِذٍ وَصْفُ الْمُضْطَرِبِ وَلَا لَهُ حُكْمُهُ. ثُمَّ قَدْ يَقَعُ الِاضْطِرَابُ فِي مَتْنِ الْحَدِيثِ، وَقَدْ يَقَعُ فِي الْإِسْنَادِ، وَقَدْ يَقَعُ ذَلِكَ مِنْ رَاوٍ وَاحِدٍ وَقَدْ يَقَعُ بَيْنَ رُوَاةٍ لَهُ جَمَاعَةٍ.
“Hadis mudtarib adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda; sebagian perawi meriwayatkannya dengan satu versi, sedangkan perawi lain meriwayatkannya dengan versi yang bertentangan. Hadis ini disebut mudtarib jika kedua versi memiliki kekuatan yang sama. Namun, jika salah satu versi lebih kuat (karena perawinya lebih hafal, lebih lama bergaul dengan sumber hadis, atau alasan lain yang diterima), maka versi yang lebih kuat yang diambil, dan hadis tersebut tidak lagi disebut mudtarib.”
Ia juga menambahkan bahwa perbedaan bisa terjadi dalam sanad atau matan, dan perbedaan ini menyebabkan hadis tersebut dianggap lemah (dhaif) karena menunjukkan ketidakakuratan dalam periwayatan.
Demikian pula Imam As-Suyuthi dalam syairnya menyebutkan:
مَا اخْتَلَفَتْ وُجُوهُهُ حَيْثُ وَرَدْ = مِنْ وَاحِدٍ أَوْ فَوْقُ مَتْنًا أَوْ سَنَدْ
وَلا مُرَجِّحٌ هُوَ الْمُضْطَرِبُ = وَهْوَ لِتَضْعِيفِ الْحَدِيثِ مُوجِبُ
Artinya:
“Hadis yang memiliki berbagai versi yang berbeda, baik dari satu perawi atau lebih, baik dalam matan atau sanad, dan tidak ada versi yang lebih kuat, maka itulah hadis mudtarib. Hadis ini menyebabkan kelemahan dalam hadis.”
Berdasarkan penjelasan di atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa hadis mudtarib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu atau lebih perawi dengan berbagai versi yang berbeda, di mana versi-versi tersebut memiliki kekuatan yang sama (tidak ada yang lebih kuat dari yang lain), dan tidak mungkin dilakukan kompromi atau penggabungan antara versi-versi tersebut dan perbedaan ini bisa terjadi dalam sanad (rantai periwayatan) atau matan (teks hadis).
Bentuk-Bentuk Hadis Mudtarib
Hadis mudtarib dapat dibagi menjadi dua bentuk berdasarkan aspek yang mengalami ketidakkonsistenan:
1. Mudtarib Sanad
Ketidakkonsistenan terjadi pada rantai periwayatan (sanad). Misalnya, satu riwayat menyebutkan nama perawi tertentu, sedangkan riwayat lain menyebutkan nama perawi yang berbeda.
Contoh Hadis Mudtarib dalam Sanad:
Hadis dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِنَّ هَذِهِ الْحُشُوشَ مُحْتَضَرَةٌ، فَإِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْخَلَاءَ فَلْيَقُلْ: أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الْخُبُثِ وَالْخَبَائِثِ”
“Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini adalah tempat yang dihadiri setan. Jika salah seorang dari kalian pergi ke toilet, maka ucapkanlah: ‘Aku berlindung kepada Allah dari setan laki-laki dan setan perempuan.'”
Imam At-Tirmidzi menjelaskan bahwa dalam sanad hadis ini terdapat perbedaan:
- Hisyam Ad-Dastuwa’i meriwayatkan dari Qatadah, dari Zaid bin Arqam.
- Sa’id bin Abi Arubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Qasim bin Auf Asy-Syaibani, dari Zaid bin Arqam.
- Syu’bah dan Ma’mar meriwayatkan dari Qatadah, dari An-Nadhr bin Anas, tetapi Syu’bah menyebutkan dari Zaid bin Arqam, sedangkan Ma’mar menyebutkan dari An-Nadhr bin Anas, dari ayahnya.
Perbedaan ini menunjukkan ketidakstabilan dalam sanad, sehingga hadis ini dianggap mudtarib.
2. Mudtarib Matan
Ketidakkonsistenan terjadi pada teks hadis (matan). Misalnya, satu riwayat menyebutkan lafaz tertentu, sedangkan riwayat lain menyebutkan lafaz yang berbeda dengan makna yang bertentangan.
Contoh Hadis Mudtarib dalam Matan:
Hadis yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Abi Hamid dari Ismail bin Muhammad bin Sa’d bin Abi Waqqash, dari ayahnya, dari Sa’d radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah ﷺ bersabda:
“مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ رِضَاهُ بِمَا قَضَى اللَّهُ لَهُ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنِ آدَمَ تَرْكُهُ اسْتِخَارَةَ اللَّهِ، وَمِنْ شَقَاوَةِ ابْنِ آدَمَ سَخَطُهُ بِمَا قَضَى اللَّهُ لَهُ”
“Di antara kebahagiaan anak Adam adalah ridha terhadap ketetapan Allah, dan di antara kesengsaraannya adalah meninggalkan istikharah kepada Allah, serta kemarahan terhadap ketetapan Allah.”
Namun, dalam riwayat lain, Muhammad bin Abi Hamid meriwayatkan dengan redaksi yang berbeda:
“مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ، وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ ثَلاثَةٌ؛ مِنْ سَعَادَةِ ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الصَّالِحُ، وَمِنْ شِقْوَةِ ابْنِ آدَمَ: الْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ السُّوءُ، وَالْمَرْكَبُ السُّوءُ”
“Di antara kebahagiaan anak Adam adalah tiga hal: istri yang shalehah, tempat tinggal yang baik, dan kendaraan yang baik. Dan di antara kesengsaraannya adalah tiga hal: istri yang buruk, tempat tinggal yang buruk, dan kendaraan yang buruk.”
Perbedaan dalam matan ini menunjukkan ketidakstabilan, sehingga hadis ini dianggap mudtarib.
Penyebab Terjadinya Hadis Mudtarib
Ada beberapa faktor yang menyebabkan suatu hadis dikategorikan sebagai mudtarib, di antaranya:
- Perbedaan dalam Sanad: Hadis diriwayatkan melalui berbagai jalur yang bertentangan, misalnya satu riwayat menyebutkan satu perawi tertentu, sedangkan riwayat lain menyebutkan perawi yang berbeda. Jika tidak ada riwayat yang lebih kuat, maka hadis tersebut dianggap mudtarib.
- Perbedaan dalam Matan: Hadis diriwayatkan dengan perbedaan lafaz atau isi yang signifikan sehingga maknanya berubah dan tidak bisa direkonsiliasi. Jika perbedaan kecil masih bisa dikompromikan, hadis tersebut tidak dikategorikan sebagai mudtarib.
- Ketidakjelasan dalam Kualitas Perawi: Jika perbedaan dalam sanad atau matan berasal dari perawi yang tingkat hafalannya lemah atau kurang terpercaya, maka hadis tersebut lebih cenderung menjadi mudtarib. Namun, jika salah satu riwayat berasal dari perawi yang lebih tsiqah (terpercaya), maka hadis tersebut tidak masuk dalam kategori mudtarib.
Pengaruh Hadis Mudtarib terhadap Hukum Islam
Hadis mudtarib secara umum dianggap sebagai hadis dha’if (lemah) karena adanya ketidakkonsistenan dalam periwayatannya. Oleh karena itu, hadis ini tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dalam penetapan hukum Islam kecuali jika ditemukan riwayat lain yang lebih kuat atau memiliki syawahid (penguat) yang dapat memperkuatnya. Beberapa ulama seperti Imam as-Suyuthi dan Ibn Hajar al-Asqalani berpendapat bahwa hadis mudtarib masih bisa diteliti lebih lanjut dengan pendekatan tarjih. Jika salah satu riwayat ditemukan lebih kuat berdasarkan ke-tsiqah-an perawinya, maka hadis tersebut bisa dikeluarkan dari kategori mudtarib.
Akhir Kalam
Hadis mudtarib adalah hadis yang mengalami ketidakkonsistenan dalam periwayatannya, baik dari aspek sanad maupun matan, sehingga tidak bisa ditentukan mana riwayat yang lebih kuat. Penyebab utama dari hadis ini adalah adanya perbedaan yang tidak bisa dikompromikan dalam periwayatannya. Akibatnya, hadis mudtarib dikategorikan sebagai hadis lemah dan tidak dapat dijadikan sebagai dalil dalam hukum Islam, kecuali jika ada bukti tambahan yang dapat memperkuat salah satu riwayatnya. Studi lebih lanjut terhadap hadis mudtarib penting untuk memastikan keabsahan riwayat dan menjaga kemurnian ajaran Islam. Dengan memahami konsep hadis mudtarib, kita dapat lebih bijak dalam menilai dan menggunakan hadis sebagai sumber hukum Islam.