Meninjau Definisi Hadis Ajjaj al-Khatib: Reorientasi Fokus Hukum dalam Islam Kontemporer

Definisi hadits merupakan pintu masuk penting dalam memahami bagaimana umat Islam mewarisi, menafsirkan, dan mengamalkan ajaran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an, hadis memainkan peran sentral dalam membentuk hukum, akhlak, dan budaya umat Islam. Oleh karena itu, definisi dan batasan terhadap apa yang disebut sebagai hadis tidak hanya menjadi isu akademik, melainkan juga berdampak luas terhadap cara umat memahami dan menjalankan agamanya.
Salah satu tokoh penting dalam studi hadits kontemporer adalah Ajjaj al-Khatib. Dalam karyanya “Ushul al-Hadith wa Ulumuhu wa Musthalahuhu”, ia menawarkan definisi hadis yang relatif inklusif dan luas. Menurutnya, hadis adalah segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad, baik dalam kata, perbuatan, taqrir (tujuan), sifat fisik, maupun sifat moral. Definisi ini tampaknya merupakan sintesis dari definisi-definisi yang berkembang dalam khazanah ulum al-hadith klasik, tetapi dengan penekanan pada aspek komprehensif kepribadian Nabi. Ajjaj al-Khatib tidak hanya menganggap ucapan Nabi sebagai hadis, tetapi juga gaya hidup, cara berjalan, cara makan, bentuk tubuh, dan akhlaknya sebagai bagian dari hadis. Implikasi dari pendekatan ini adalah bahwa hadis bukan hanya tentang ajaran hukum, tetapi juga tentang representasi menyeluruh atas kepribadian Nabi. Dalam konteks tertentu, definisi ini memiliki kelebihan karena dapat memperluas cakupan keteladanan Nabi dan membuat seluruh sisi hidupnya sebagai model ideal.
Namun, dalam praktik sosial umat Islam kontemporer, definisi luas ini justru menimbulkan masalah baru. Fenomena yang marak terjadi saat ini menunjukkan bahwa masyarakat lebih sibuk meniru aspek-aspek fisik Nabi yang tidak memiliki nilai hukum secara langsung. Misalnya, gaya berjalan Nabi, bentuk janggut, cara makan, atau posisi tidur lebih sering menjadi perbincangan dan amalan daripada hadits-hadis yang memuat pesan moral, sosial, dan hukum yang lebih mendasar. Praktik ini menimbulkan paradoks: umat sangat semangat meneladani sunnah Nabi dalam aspek superfisial, namun lalai terhadap kewajiban syariah yang substansial.
Fenomena ini menunjukkan bahwa definisi hadits seperti yang diajukan oleh Ajjaj al-Khatib membuka ruang yang sangat luas untuk apa pun yang berkaitan dengan Nabi untuk dianggap sebagai hadits, tanpa membedakan mana yang seharusnya menjadi fokus dalam kehidupan Islam. Dalam situasi masyarakat yang cenderung mencari kepastian ritual dan simbolis, aspek-aspek lahir Nabi lebih mudah diadopsi daripada hukum-hukum yang menuntut pemikiran kritis dan komitmen sosial.
Kelemahan lain dari definisi Ajjaj al-Khatib adalah pengaburan prioritas. Dalam tradisi Islam, hukum syariah dibangun dari teks-teks yang memiliki muatan normatif yang kuat. Ketika hadis dimaknai secara terlalu luas, seperti memasukkan kebiasaan Nabi yang tidak dimaksudkan sebagai pedoman universal, maka umat dapat salah dalam menentukan mana yang wajib, sunnah, mubah, atau bahkan hanya kebiasaan pribadi. Dalam konteks ini, definisi hadis perlu dirumuskan secara hati-hati agar tidak mencampuradukkan antara dimensi normatif dan historis Nabi.
Sebagai upaya korektif, penting untuk kembali melihat definisi hadits yang diajukan oleh para ulama klasik seperti Ibn Shalah dan Khatib al-Baghdadi. Mereka memfokuskan pada hadis sebagai khabar (informasi) yang berkaitan dengan ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi yang memiliki nilai hukum. Pendekatan ini lebih ketat dan menekankan pada relevansi hadits dengan syariat. Dengan membatasi hadis pada aspek yang berdampak hukum, definisi ini berkontribusi pada penjernihan pemahaman umat terhadap ajaran Islam yang sebenarnya.
Ibn Shalah dalam “Muqaddimah-nya” menjelaskan bahwa hadis adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi dalam bentuk ucapan, perbuatan, dan taqrir, tanpa memasukkan sifat fisik Nabi secara eksplisit. Fokus ini memungkinkan hadis difungsikan sebagai dasar hukum Islam yang otoritatif. Hal yang sama ditegaskan oleh Khatib al-Baghdadi dalam karyanya “al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah”, yang menempatkan hadis dalam koridor ketat sebagai sumber hukum, bukan sebagai rekaman budaya atau tradisi sosial semata.
Dengan mengembalikan definisi hadits kepada fokus normatif-hukum seperti ini, umat akan diarahkan pada pemahaman yang lebih fungsional terhadap hadits. Hal ini juga berdampak langsung pada kehidupan sosial dan moral umat, karena perhatian tidak lagi terpecah pada simbol-simbol yang tidak signifikan, tetapi lebih diarahkan pada tindakan dan tanggung jawab sosial yang sesuai dengan ajaran Islam. Misalnya, jika umat lebih diarahkan untuk mengamalkan hadits tentang keadilan dalam transaksi, larangan salat dalam keadaan mabuk, keharusan berlaku adil terhadap istri, dan larangan menyakiti tetangga, maka hadits akan benar-benar menjadi panduan hidup, bukan sekadar pelestarian tradisi simbolis. Inilah yang menjadi inti kritik terhadap definisi Ajjaj al-Khatib: definisinya terlalu inklusif hingga menyamarkan batas antara sunnah yang wajib diteladani dan kebiasaan historis yang tidak mengandung keharusan hukum.
Kritik ini tidak dimaksudkan untuk menolak pentingnya aspek-aspek pribadi Nabi sebagai teladan, melainkan untuk menempatkannya dalam proporsi yang tepat. Bahwa meneladani Nabi memang mencakup akhlak dan kebiasaan, namun tidak semua kebiasaan Nabi memiliki nilai hukum yang sama. Dalam ilmu usul fikh dikenal konsep “fi’l al-Nabi” (perbuat Nabi) yang tidak serta merta mengandung hukum kecuali jika disertai qarinah (indikasi) bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk diteladani secara normatif. Dengan demikian, pendekatan Ajjaj al-Khatib perlu dilengkapi dengan kesadaran akan klasifikasi hadits dan pemisahan antara nilai hukum dan nilai historis. Tanpa itu, umat akan terus terjebak dalam ritualisme simbolis yang menjauh dari misi syariah sebagai pedoman hidup yang adil, rasional, dan transformatif.
Sebagai penutup, penting bagi para sarjana dan pendidik Islam untuk membimbing umat dalam memahami hadis secara lebih selektif dan proporsional. Kritik terhadap definisi Ajjaj al-Khatib bukanlah penolakan terhadap otoritasnya, melainkan upaya untuk mengajak kembali ke esensi hadits sebagai petunjuk hidup yang menekankan pada nilai, hukum, dan moral. Dalam konteks masyarakat yang kompleks seperti saat ini, umat Islam membutuhkan bimbingan yang jelas tentang apa yang benar-benar penting untuk diikuti dari kehidupan Nabi Muhammad: bukan hanya bagaimana dia tidur atau makan, tetapi bagaimana dia membangun masyarakat yang adil, jujur, dan bermartabat di hadapan Tuhan dan manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *