Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an dan berfungsi sebagai pedoman hidup umat Islam. Dalam transmisi hadis, sangat penting untuk memahami bagaimana hadis diterima (al-Tahammul) dan disampaikan (al-Ada’). Metode penerimaan dan penyampaian hadis adalah aspek yang menentukan kesahihan serta ketepatan hadis yang diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Metode-metode ini dikembangkan oleh ulama hadis untuk menjaga keaslian sumber Islam.
Pengertian Al-Tahammul (التحمل)
Secara bahasa, kata al-Tahammul (التحمل) berasal dari kata kerja ḥamala (حَمَلَ) yang berarti “memikul”, “menanggung”, atau “menerima sesuatu”. Dalam konteks hadis, al-Tahammul merujuk pada proses di mana seorang perawi “memikul” atau menerima hadis dari gurunya atau sumber hadis.
Secara istilah, al-Tahammul (التحمل) mengacu pada metode atau cara di mana seorang perawi menerima hadis dari seorang guru atau perawi sebelumnya. Proses ini melibatkan cara seorang perawi mendengar, membaca, atau mendapatkan izin dari guru yang memiliki pengetahuan hadis tersebut. Al-Tahammul adalah langkah pertama dalam menjaga transmisi hadis, di mana perawi berusaha mendapatkan hadis dengan cara yang benar agar informasi tersebut tetap otentik.
Pengertian Al-Ada’ (الأداء)
Secara bahasa, al-Ada’ (الأداء) berasal dari kata kerja ada’a (أدّى) yang berarti “menyampaikan”, “menyerahkan”, atau “melaksanakan”. Kata ini menunjukkan proses pengiriman atau penyampaian sesuatu kepada orang lain.
Secara istilah, al-Ada’ (الأداء) merujuk pada metode penyampaian hadis dari seorang perawi kepada muridnya atau perawi lain. Ini mencakup pilihan kata (lafadz) dan metode yang digunakan oleh perawi dalam menyampaikan hadis yang telah ia terima. Al-Ada’ menjadi proses lanjutan dari al-Tahammul, di mana perawi menyalurkan hadis yang diterimanya sesuai dengan kaidah yang ditentukan.
Metode Penerimaan (al-Tahammul)
Berbagai metode penerimaan hadis telah berkembang dalam ilmu hadis. Berikut adalah metode utama:
1. al-Sima’ (السماع)
Secara bahasa, Sima’ (السماع) berasal dari kata sami’a (سَمِعَ) yang berarti “mendengar”.
Secara istilah, Sima’ adalah metode di mana seorang perawi mendengar langsung dari gurunya yang menyampaikan hadis secara lisan. Ini dianggap sebagai metode penerimaan hadis yang paling kuat dan otoritatif. Dalam metode ini, perawi berada di hadapan gurunya dan mendengarkan hadis yang diucapkan langsung, baik secara hafalan maupun pembacaan dari kitab.
Contoh Penerapannya: Seorang perawi mendengar hadis yang disampaikan langsung oleh gurunya dalam sebuah majelis. Dalam meriwayatkan hadis tersebut, ia biasanya menggunakan lafadz seperti ḥaddathanā (حدثنا), yang berarti “telah menceritakan kepada kami.”
2. al-Qira’ah (القراءة)
Secara bahasa, Qira’ah (القراءة) berasal dari kata qara’a (قرأ) yang berarti “membaca”.
Secara istilah, Qira’ah adalah metode di mana seorang murid membaca teks hadis di hadapan gurunya dan mendapatkan persetujuan atau pengesahan dari gurunya atas bacaan tersebut. Qira’ah sering dianggap memiliki kedudukan yang hampir setara dengan Sima’ dalam hal kekuatan periwayatan.
Contoh Penerapannnya: Perawi membawa catatan atau kitab hadis kepada gurunya, kemudian membacakan hadis-hadis di dalamnya, dan gurunya memberikan persetujuan. Dalam meriwayatkan hadis ini, perawi biasanya menggunakan lafadz akhbaranā (أخبرنا), yang berarti “telah mengabarkan kepada kami.”
3. al-Ijazah (الإجازة)
Secara bahasa, Ijazah (الإجازة) berasal dari kata ajaza (أجاز) yang berarti “memberikan izin”.
Secara istilah, Ijazah adalah metode di mana seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis tertentu tanpa murid tersebut harus mendengar atau membaca langsung di hadapan gurunya. Terdapat berbagai jenis ijazah, seperti ijazah umum yang memberikan izin untuk meriwayatkan semua hadis guru, dan ijazah khusus untuk meriwayatkan hadis tertentu.
Contoh Penerapannya: Seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis yang ada dalam kitabnya. Lafadz yang digunakan dalam meriwayatkan hadis ini bisa berupa ajaztu lahu (أجزت له), yang berarti “saya telah memberikan izin kepadanya.”
4. al-Munawalah (المناولة)
Secara bahasa, Munawalah (المناولة) berasal dari kata nawala (ناول) yang berarti “memberikan sesuatu”.
Secara istilah, Munawalah adalah metode di mana seorang guru menyerahkan kitab atau teks hadis langsung kepada muridnya, dan memberi izin untuk meriwayatkan isi kitab tersebut tanpa perlu membacanya bersama. Metode ini biasanya digunakan saat guru tidak bisa mengajarkan langsung namun ingin muridnya dapat meriwayatkan isi kitab tersebut.
Contoh Penerapannya: Guru memberikan kitab berisi hadis kepada muridnya dan menyatakan bahwa murid tersebut boleh meriwayatkan isi kitab tersebut. Lafadz yang digunakan biasanya berbunyi naawaltuhu (ناولته), yang berarti “saya telah menyerahkannya.”
5. al-Kitabah (الكتابة)
Secara bahasa, Kitabah (الكتابة) berasal dari kata kataba (كتب) yang berarti “menulis”.
Secara istilah, Kitabah adalah metode di mana guru menuliskan hadis untuk disampaikan kepada muridnya. Ini bisa berbentuk surat atau catatan yang berisi hadis, yang nantinya menjadi dasar bagi murid untuk meriwayatkan hadis tersebut. Metode ini digunakan bila guru atau murid berada di tempat yang berjauhan.
Contoh Penerapannya: Guru menuliskan hadis di atas lembaran kertas atau di dalam sebuah kitab kemudian mengirimkannya kepada muridnya. Dalam meriwayatkan hadis ini, perawi biasanya menggunakan lafadz seperti kataba ilayya (كتب إليّ), yang berarti “ia telah menulis kepada saya.”
6. al-‘Ardh (العرض)
Secara bahasa, ‘Ardh (العرض) berasal dari kata ‘araḍa (عرض) yang berarti “menyajikan” atau “memperlihatkan”.
Secara istilah, ‘Ardh adalah metode di mana murid menyajikan atau memperlihatkan hafalan atau catatan hadisnya kepada gurunya. Guru kemudian mengoreksi atau membenarkan hadis tersebut. Metode ini bertujuan untuk memastikan akurasi hafalan atau catatan murid dengan pembenaran dari gurunya.
Contoh Penerapan: Murid membacakan hadis yang ia hafal atau catat di hadapan gurunya, kemudian gurunya memberikan persetujuan atau koreksi. Dalam meriwayatkan hadis ini, murid menggunakan lafadz seperti ‘araḍtu ‘alayhi (عرضت عليه), yang berarti “saya telah memperlihatkan kepadanya.”
7. al-I’lam (الإعلام)
Secara bahasa, kata al-I’lam (الإعلام) berasal dari akar kata ‘allama (عَلَّمَ) yang berarti “memberi tahu” atau “menginformasikan”.
Secara istilah, al-I’lam adalah metode di mana seorang guru memberi tahu muridnya tentang adanya hadis dalam kitab tertentu tanpa memberi izin eksplisit untuk meriwayatkannya. Dalam metode ini, guru hanya menunjukkan bahwa ia memiliki hadis tertentu atau menunjuk kitab di mana hadis tersebut dapat ditemukan, tetapi tidak memberikan izin formal kepada murid untuk meriwayatkan isi kitab tersebut.
Contoh Penerapan: Seorang guru memberitahu muridnya bahwa di dalam kitab miliknya terdapat hadis tertentu tanpa mengizinkan murid tersebut untuk meriwayatkannya.
8. al-Wasiyah (الوصية)
Secara bahasa, kata al-Wasiyah (الوصية) berasal dari kata washa (وَصَّى) yang berarti “memberikan wasiat” atau “berpesan”.
Secara istilah, al-Wasiyah dalam ilmu hadis adalah metode di mana seorang guru berpesan atau berwasiat kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis tertentu setelah guru tersebut meninggal dunia. Guru tersebut memberikan wasiat dalam bentuk tertulis atau verbal yang berisi pesan untuk menyebarkan atau meneruskan hadis yang ia miliki setelah ia wafat.
Contoh Penerapan: Seorang guru menyerahkan sebuah kitab berisi hadis kepada muridnya sebelum wafat, dengan pesan untuk menyebarkan isi kitab tersebut kepada orang lain setelah kematiannya.
9. al-Wijadah (الوجادة)
Secara bahasa, kata al-Wijadah (الوجادة) berasal dari kata wajada (وَجَدَ) yang berarti “menemukan”.
Secara istilah, al-Wijadah adalah metode di mana seorang perawi menemukan hadis yang tertulis dalam kitab atau catatan milik seorang perawi lain, namun tidak pernah menerima langsung dari pemilik kitab tersebut. Dengan metode ini, perawi tidak memiliki sanad langsung tetapi tetap menuliskan informasi yang ditemukan dengan mencantumkan sumbernya sebagai bentuk amanah ilmiah.
Dalam meriwayatkan hadis melalui metode al-Wijadah, perawi biasanya akan menggunakan lafadz seperti: wajadtu bi-khathi fulan (وجدت بخط فلان), yang berarti “saya menemukan dalam tulisan si Fulan”. Ini menunjukkan bahwa ia tidak mendengar langsung dari sumbernya, tetapi menemukan tulisan tersebut sebagai bukti atau rekaman dari perawi sebelumnya.
Contoh Penerapan: Seorang perawi menemukan catatan berisi hadis dalam tulisan milik gurunya atau seorang ulama terdahulu, kemudian ia meriwayatkan hadis tersebut dengan menyebutkan bahwa ia menemukannya dalam catatan gurunya.
Baca Juga: Model-model Pembukuan Kitab Hadis
Metode Penyampaian (al-Ada’)
Demikian pula halnya dengan al-Ada’, berbagai metode penyampaian hadis juga telah berkembang dalam ilmu hadis. Berikut adalah metode utama:
1. Hadatsana (حدثنا)
Secara bahasa, Hadatsana (حدثنا) berasal dari kata haddatsa (حدّث) yang berarti “menceritakan” atau “mengisahkan”. Bentuknya adalah kata kerja yang menunjukkan komunikasi secara langsung.
Secara istilah, Hadatsana digunakan oleh perawi untuk menunjukkan bahwa ia mendengar hadis langsung dari gurunya bersama murid-murid lainnya. Dengan menggunakan lafadz ini, perawi menunjukkan bahwa hadis tersebut disampaikan secara kolektif dalam sebuah majelis, di mana guru menyampaikan atau mengucapkan hadis dan para murid mendengarkannya secara langsung.
Contoh Penerapan: Ketika seorang perawi meriwayatkan hadis dan menyebut “Hadatsana”, ia mengindikasikan bahwa ia mendengar hadis ini dalam keadaan bersama-sama, yang menunjukkan kekuatan periwayatan yang lebih tinggi karena didengar oleh beberapa orang sekaligus. Lafadz ini sering digunakan oleh para ulama dalam kitab-kitab hadis utama, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, untuk memperkuat bahwa hadis ini diterima dalam situasi yang otentik.
2. Akhbarana (أخبرنا)
Secara bahasa, Akhbarana (أخبرنا) berasal dari kata akhbara (أخبر) yang berarti “memberitahukan” atau “mengabarkan”.
Secara istilah, Akhbarana digunakan oleh seorang perawi ketika ia membaca hadis di hadapan gurunya, dan gurunya membenarkan bacaan tersebut. Biasanya, penggunaan lafadz ini menunjukkan metode penerimaan yang sedikit berbeda dari Hadatsana, karena menandakan bahwa hadis ini mungkin diperoleh melalui pembacaan perawi di hadapan gurunya, bukan dari pengucapan langsung guru.
Contoh Penerapan: Ketika perawi menyebut Akhbarana, ia mengindikasikan bahwa ia membaca atau membacakan hadis di hadapan gurunya, yang kemudian mengonfirmasi atau menyetujui kebenaran bacaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perawi tidak mendengar hadis tersebut secara lisan dari gurunya, tetapi gurunya mengakui keabsahan hadis yang dibacakan.
3. Anba’ana (أنبأنا)
Secara bahasa, Anba’ana (أنبأنا) berasal dari kata anba’a (أنبأ) yang berarti “memberikan kabar” atau “memberi tahu”.
Secara istilah, Anba’ana merupakan lafadz yang hampir serupa dengan Akhbarana, namun sering kali digunakan dalam konteks yang lebih formal atau mendalam. Lafadz ini biasanya digunakan oleh perawi untuk menunjukkan bahwa ia menerima hadis secara ijazah (pemberian izin). Dengan kata lain, gurunya memberikan izin kepada perawi untuk meriwayatkan hadis tanpa harus membacakannya terlebih dahulu di hadapan guru.
Contoh Penerapan: Ketika perawi menyebut Anba’ana, ia menyiratkan bahwa hadis tersebut diterima melalui ijazah atau munawalah. Artinya, meskipun tidak mendengar langsung, ia telah mendapatkan otorisasi untuk menyampaikan hadis dari gurunya.
4. Qala (قال)
Secara bahasa, Qala (قال) adalah kata kerja yang berarti “ia berkata”.
Secara istilah, Qala merupakan lafadz yang lebih umum dan tidak secara spesifik menunjukkan cara penerimaan hadis. Penggunaan lafadz ini biasanya menunjukkan periwayatan yang lebih longgar, karena tidak secara eksplisit menunjukkan bahwa perawi mendengar atau menerima hadis secara langsung dari gurunya. Karena lafadz ini tidak menunjukkan kesinambungan sanad yang kuat, penggunaannya lebih sering dihindari ketika sanad yang lebih kuat tersedia.
Contoh Penerapan: Ketika seorang perawi menyebut Qala, ia mengindikasikan bahwa hadis ini berasal dari sumber tertentu tetapi tanpa menjelaskan metode penerimaannya secara langsung. Misalnya, perawi mungkin berkata, Qala Rasulullah… (قال رسول الله), yang berarti “Rasulullah berkata…”.
5. ‘An (عن)
Secara bahasa, ‘An (عن) berarti “dari” atau “berasal dari”.
Secara istilah, ‘An digunakan untuk menunjukkan sanad yang lebih lemah dibandingkan lafadz-lafadz lain seperti Hadatsana atau Akhbarana. Ketika perawi menggunakan ‘An, biasanya menunjukkan bahwa ia menerima hadis dengan cara yang tidak dijelaskan secara langsung, dan ada kemungkinan ia tidak mendengar langsung dari sumbernya. Penggunaan lafadz ini juga dapat membuka kemungkinan adanya tadlis (pengelabuan sanad), yaitu ketika perawi menyebut nama gurunya tanpa mendengar langsung.
Contoh Penerapan: Ketika perawi menyebut ‘An, seperti dalam ‘An Fulaan (عن فلان), yang berarti “dari si Fulan”, ia mengindikasikan bahwa ia mendengar atau menerima hadis dari sumber tersebut tanpa menjelaskan metode penerimaan lebih lanjut. Contohnya, عن النبي صلى الله عليه وسلم berarti “dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam”.
6. Haddatsani (حدثني)
Secara bahasa, Haddatsani (حدثني) berasal dari kata haddatsa (حدّث), yang berarti “menceritakan”.
Secara istilah, Haddatsani mirip dengan Hadatsana, tetapi dengan nuansa yang lebih khusus. Jika Hadatsana menunjukkan penerimaan dalam keadaan bersama (kolektif), Haddatsani menunjukkan bahwa hadis tersebut diterima perawi dari gurunya dalam situasi khusus, yaitu secara individu, tanpa kehadiran murid lainnya. Ini mengindikasikan bahwa hadis disampaikan khusus kepada perawi, sehingga periwayatannya cenderung lebih kuat dan akurat karena diperoleh secara personal.
Contoh Penerapan: Ketika seorang perawi menggunakan lafadz Haddatsani, ia menyatakan bahwa ia mendengar hadis ini langsung dari gurunya dalam situasi individu. Contohnya, حدثني فلان berarti “telah menceritakan kepadaku si Fulan”, yang menunjukkan penerimaan pribadi dan langsung dari perawi tersebut.
Akhir Kata
Dalam studi hadis, konsep al-Tahammul dan al-Ada’ berperan fundamental dalam memastikan keotentikan serta validitas suatu riwayat yang disandarkan kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Al-Tahammul, yang mencakup metode penerimaan hadis seperti Sima’, Qira’ah, Ijazah, Munawalah, Kitabah, ‘Ardh, I’lam, Wasiyah, dan Wijadah merupakan tahapan pertama yang sangat penting. Setiap metode ini menunjukkan bahwa hadis diterima oleh seorang perawi melalui jalur yang jelas, baik secara langsung maupun dengan izin. Metode-metode ini telah disusun dengan sistematis agar setiap riwayat yang diterima melalui jalur periwayatan ini memiliki dasar yang kuat dan terjaga. Al-Tahammul menjadi pondasi utama yang menunjukkan bahwa setiap perawi mendapatkan hadis dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain, al-Ada’ atau lafadz penyampaian hadis seperti Hadatsana, Akhbarana, Anba’ana, Qala, ‘An, dan Haddatsani, adalah tahap penyampaian yang memegang peran krusial dalam menilai kekuatan dan keakuratan sanad. Setiap lafadz memberikan informasi mendalam tentang bagaimana hadis tersebut disampaikan kepada perawi berikutnya, sehingga memudahkan para ulama dalam menilai kualitas sebuah riwayat. Dengan memahami al-Ada’, para ulama dapat mengetahui apakah hadis diterima secara langsung, melalui bacaan, atau bahkan melalui perantara tertentu, dan hal ini memengaruhi tingkat keabsahan hadis tersebut.
Keseluruhan konsep al-Tahammul dan al-Ada’ ini menunjukkan betapa berhati-hatinya para ulama hadis dalam menerima, memverifikasi, dan menyampaikan hadis Nabi agar tetap sesuai dengan aslinya. Sistem periwayatan ini tidak hanya mencerminkan ketelitian akademik, tetapi juga menunjukkan dedikasi para ulama dalam menjaga ajaran Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam agar tetap otentik dari generasi ke generasi. Dengan metode yang kompleks namun terstruktur ini, ilmu hadis berkembang menjadi salah satu disiplin ilmu yang paling detail dalam sejarah ilmu pengetahuan Islam.
Oleh karena itu, pembahasan al-Tahammul dan al-Ada’ memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana hadis-hadis yang kita baca saat ini melewati perjalanan panjang dan ketat. Kedua konsep ini membantu umat Islam di masa kini dan masa mendatang untuk tetap terhubung dengan ajaran murni Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, melalui jalur yang jelas, akurat, dan terjaga.